Banyak Perundungan di Lingkungan Sekolah, DPR: Perkuat Peran Guru BK!

Melihat banyak perundungan anggota DPR yakini guru BK masih kurang

republika/mardiah
Guru BK Ilustrasi
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menekankan pentingnya peran dan fungsi guru Bimbingan dan Konseling (BK). Sebab itu dia mendorong penguatan fungsi dan peran guru bimbingan dan konseling di sekolah. Dia menyoroti hal itu di tengah banyaknya kasus perundungan terjadi di lingkungan pendidikan.


"Ada gejala yang muncul di permukaan bahwa banyaknya anak-anak yang mengalami perundungan,” ujar Fikri dalam siaran pers, Jumat (10/11/2023).

Dia menyebutkan sejumlah kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, di antaranya adanya kakak kelas menikam adik-adik kelasnya, ada mahasiswa yang problematikanya belum diketahui tiba-tiba naik di sebuah mal lalu dari lantai tiga dia lompat dengan menulis dalam bahasa Inggris pesan kepada gurunya, kepada ibunya, dan seterusnya.

“Ini symptoms (gejala) ini gejala yang tentu harus evaluasi," kata dia.

Politikus Fraksi PKS itu mengatakan, saat ini Indonesia memiliki sumber daya yang luar biasa, akan tetapi masih belum terberdayakan dengan baik. Sebab itu, kata dia, perlu perhatian lebih dari pemerintah dan DPR untuk memperkuat peran guru BK di sekolah. Dia pun menaruh curiga bahwa jumlah guru BK yang dibutuhkan saat ini masih kurang dari yang seharusnya.

"Kemudian yang kedua ada mispersepsi atau mungkin juga kurang kesadaran atau kurang perhatian mereka tugas-tugasnya. Karena di lapangan guru BK ini malah diserahkan kepada guru mata pelajaran yang kurang jam pelajarannya kemudian dipenuhi supaya 24 jam oleh kepala sekolah dan itu dianggap selesai," jelas dia.

Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Itjen Kemendikbudristek) mencatat ada 127 kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang tahun 2021-2023. Di mana, penanganan kasus kekerasan seksual dilakukan di jenjang sekolah dasar (SD) yang mencapai 28 kasus, sementara di tingkat SMP, SMA, dan SMK secara akumulatif berjumlah 22 kasus.

“Total terdapat terdapat 127 kasus, tujuh kasus di tahun 2021, 68 kasus di tahun 2022, dan 52 kasus di 2023, yang ditangani. Dengan isu terbanyak adalah perundungan dan lokus terbanyak di sekolah menengah,” ujar Irjen Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang dalam rapat dengan Komisi X DPR RI yang disiarkan secara daring, dikutip Jumat (10/11/2023).

Berikut catatan upaya penanganan kekerasan yang dilakukan oleh Itjen Kemendikbudristek sepanjang tahun 2021-2023. Untuk penanganan kekerasan seksual terdapat 50 kasus yang terbagi atas jenjang SMP, SMA, SMK sebanyak 22 kasus dan SD sebanyak 28 kasus. Kemudian, untuk kasus penanganan perundungan terdapat 52 kasus yang terbagi atas jenjang SMP, SMA, SMK sebanyak 32 kasus dan SD sebanyak 20 kasus. 

“Kemudian, untuk penanganan intoleransi sebanyak 25 kasus yang terbagi atas jenjang SMP, SMA, SMK sebanyak 14 kasus dan Sekolah Dasar sebanyak 11 kasus,” jelas Chatarina.

Dalam paparannya, Chatarina menyampaikan kemajuan Kemendikbudristek dalam mengatasi isu perundungan dengan mendorong pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan.

Sejauh ini, kata dia, telah terbentuk 104.870 TPPK, dengan rincian 31.801 TPPK pada jenjang PAUD, 46.203 TPPK untuk jenjang SD, 14.431 TPPK untuk jenjang SMP, 6.284 untuk jenjang SMA, 4.626 TPPK untuk jenjang SMK, 541 TPPK untuk jenjang SLB, dan 984 untuk jenjang pendidikan kesetaraan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler