Liga Arab tak Kompak Tekan Israel, Riyadh Summit Hasilkan Komunike Kabur tak Lugas

Draf 5 poin komunike tekan Israel lebih keras tak disetujui semua anggota Liga Arab.

AP Photo/Jacquelyn Martin
Pangeran Arab Saudi, Mohemmed Bin Salman, menjadi tuan rumah Riyadh Summit di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (11/11/2023), membahas perang Israel-Hamas. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Sabtu (11/11/2023), pemimpin dari negara-negara Muslim di dunia berkumpul di Riyadh, Arab Saudi, dalam tajuk Riyadh Summit. Awalnya, Riyadh Summit diselenggarakan hanya sebagai sarana pertemuan pemimpin dari 22 negara Liga Arab, namun kemudian, 57 pemimpin dari negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga diundang termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut hadir dalam pertemuan itu, menyusul eskalasi perang di Gaza yang semakin sengit.

Baca Juga


Namun sangat disayangkan, komunike hasil Riyadh Summit bisa dibilang sebatas desakan, kecaman, bukan tekanan konkret terhadap Israel agar mau menghentikan agresi mereka di Gaza. Riyadh Summit menghasilkan komunike yang mengutuk, "Agresi Israel di Jalur Gaza, kejahatan perang dan pembantaian barbar tak berprikemanusiaan oleh pemerintah pendudukan."

Riyadh Summit mendesak segera diakhirinya perang di Gaza dan menolak justifikasi aksi Israel terhadap warga Palestina sebagai bentuk pembelaan diri. Para pemimpin negara Muslim, juga meminta diakhirinya blokade di Gaza demi mempersilakan bantuan kemanusian masuk dan penundaan ekspor senjata ke Israel.

Diketahui kemudian bahwa, kedua pertemuan tingkat tinggi disatukan setelah Liga Arab gagal mencapai konsensus mengenai sikap bersama terhadap Israel. Menurut beberapa media internasional, termasuk AFP dan Channel 12, sejumlah negara Arab yang dimotori Aljazair mengajukan lima langkah nyata untuk menekan Israel agar mengakhiri perangnya di Gaza yang meletus setelah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyerang Israel pada 7 Oktober.

Kelima langkah itu adalah, mencegah alat-alat perang AS yang berada di berbagai pangkalan AS di Timur Tengah tak digunakan untuk Israel;  membekukan semua kontak diplomatik dan ekonomi dengan Israel; menggunakan minyak sebagai instrumen menekan Israel; melarang penerbangan ke dan dari Israel melalui wilayah udara Arab; mengirimkan delegasi Arab ke AS, Eropa, dan Rusia untuk mendorong gencatan senjata di Gaza. Libya malah meminta komunike Liga Arab mencantumkan kalimat bahwa rakyat Palestina berhak melawan pendudukan Israel.

Sebanyak 11 dari total 22 negara anggota Liga Arab, yakni Palestina, Suriah, Aljazair, Tunisia, Irak, Lebanon, Kuwait, Qatar, Oman, Libya dan Yaman, mendukung usul itu. Empat negara Arab menentang, dan sisanya abstain. Tak disebutkan negara Arab mana saja yang menolak dan abstain ini.

Namun, menurut seorang analis stasiun televisi Channel 12, negara-negara Arab yang tidak menyambut kelima usul langkah nyata menghadapi Israel itu, di antaranya adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Yordania, Sudan, Maroko, Mauritania, dan Djibouti. Ketidakkompakan Liga Arab ini kemudian dibahas lewat gabungan KTT dengan OKI. Namun, OKI ternyata juga tak mencantumkan kelima langkah nyata menekan Israel di atas dalam resolusinya.

 

OKI sudah meminta Presiden Jokowi menyampaikan pesan negara-negara Islam itu kepada AS, yang memang memiliki jadwal bertemu dengan Indonesia di Washington DC pada Senin (13/11 /2023). Presiden Jokowi juga mengunjungi AS dalam rangka menghadiri pertemuan tingkat tinggi negara-negara Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di San Francisco, mulai 15 sampai 17 November. 

Negara-negara yang memilih bermusuhan dengan Israel. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut resolusi Gaza yang dikeluarkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam KTT OKI di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu pekan lalu, menunjukkan negara-negara OKI bersatu menyikapi situasi di Jalur Gaza yang kondisinya semakin memprihatinkan dari hari ke hari.

"Pesan-pesan yang ada di dalam resolusi ini menurut hampir semua dari kami merupakan pesan yang paling keras yang pernah dilakukan oleh OKI sejauh ini," kata Retno.

Namun, sejumlah pemimpin menyayangkan tiadanya langkah nyata untuk menekan Israel. Padahal, beberapa pemimpin negara Arab yang selama ini absen, kembali bergabung ke dalam KTT Liga Arab di Riyadh Summit, seperti Suriah dan Iran.

 "Jika kita tak memiliki alat yang nyata untuk menekan, maka setiap langkah yang kita ambil atau setiap omongan yang kita sampaikan, akan tak ada artinya," kata Presiden Suriah Bashar al-Assad, seperti dikutip AFP.

Assad kembali aktif di Liga Arab dan OKI setelah absen karena perang saudara yang memecah belah negerinya. Kehadiran Assad melukiskan adanya kesatuan di Liga Arab dan OKI. 

Ebrahim Raisi pun ikut hadir di Riyadh, dan menjadi presiden Iran pertama yang mengunjungi Arab Saudi sejak Mahmoud Ahmadinejad menghadiri KTT OKI pada 2012 di Arab Saudi. Ini juga lawatan pertama Raisi ke Saudi sejak kedua negara menormalisasi hubungan diplomatik Maret pada 2023 ini. 

Sebelum ini, Iran dan Saudi berseteru di berbagai panggung geopolitik kawasan. Iran adalah penyokong Hamas, sedangkan Saudi diketahui lebih mendukung Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas, seperti kebanyakan negara Arab.

Kini, Iran dan Saudi tidak lagi berbeda sikap secara diametral. Mereka relatif satu sikap di Gaza. 

"Pembombardiran Gaza secara membabi buta harus dihentikan," kata Raisi, menegaskan.

Kolumnis Al Jazeera, Hashem Ahelbarra menilai, tanpa konsensus yang keras, komunike Riyadh Summit akan menjadi tak berguna.

"Orang-orang tahu bahwa Israel tidak peduli apa yang terjadi dalam pertemuan antara pemimpin OKI dan Liga Arab. Saat anda melihat komunike, ada akan merasakan bahwa pemimpin Liga Arab dan OKI tidak memiliki mekanisme dalam mendesak gencatan senjata dan koridor kemanusiaan," kata Ahelbarra.

“Pertemuan itu menjadi hanya semata pertemuan para elite negara Muslim. Pernyataan-pernyataannya juga lemah. Tidak semua pemimpin dari negara Arab memutuskan hadir di pertemuan itu karena adanya perbedaan besar di antara pemimpin negara-negara kunci. Itu mengapa mereka memilih kalimat-kalimat kabur (dalam komunike) untuk dikonsumsi publik," kata kata Ahelbarra menambahkan.

Karikatur Opini Republika : Amerika Bela Israel - (Daan Yahya/Republika)

 

 

sumber : Antara/AFP/Channel12/Al Jazeera
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler