Dokter RS Al Syifa: Warga Palestina Benar-Benar Dibiarkan Mati

Pasukan Israel menembaki siapa pun yang bergerak.

Reuters/Ibraheem Abu Mustafa
Bayi-bayi di rumah sakit meninggal karena kekurangan oksigen hingga jenazah warga Palestina berserakan di jalanan karena siapa pun yang mendekat akan ditembak
Rep: Amri Amrullah Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Di bawah pengepungan dan pengeboman Israel, banyak dokter di fasilitas medis terbesar di Jalur Gaza harus pergi. Tetapi hampir 15.000 lainnya harus menghadapi kematian secara perlahan. Inilah yang dialami beberapa dokter di RS Al Shifa yang harus berjuang dalam kondisi memprihatinkan dan menangani pasien yang terbengkalai.

Kompleks medis terbesar di Gaza, Al-Shifa, telah berada di bawah pengepungan dan pengeboman Israel sejak 9 November lalu. Kondisi itu  memaksa sejumlah dokter dan warga sipil melarikan diri. Apalagi fasilitas kesehatan tersebut telah dinyatakan "tidak berfungsi" oleh pejabat kesehatan.

Di antara mereka yang mengungsi adalah ahli bedah Palestina Haya al-Sheikh Khalil, yang belum meninggalkan rumah sakit sejak awal serangan Israel ke Jalur Gaza lebih dari sebulan yang lalu. Namun pada Jumat, 10 November, ketika invasi militer Israel menargetkan gedung tersebut, ia akhirnya berpikir untuk meninggalkan RS Al-Shifa.

Dia mengatakan kepada Middle East Eye bahwa dia meninggalkan rumah sakit bersama dua saudara laki-lakinya. Termasuk sejumlah dokter wanita dan banyak warga sipil yang mengungsi setelah ultimatum Israel pada Jumat (10/11/2023) sore.

Khalil mengatakan bahwa pada Kamis malam, pasukan Israel menargetkan gedung spesialisasi dengan rudal dan peluru tank, bersama dengan gedung klinik rawat jalan dan gedung kebidanan dan kandungan. Meskipun berisiko kematian, sejumlah besar dokter menolak untuk meninggalkan para korban luka, yang tidak dapat dievakuasi dari rumah sakit karena kondisi mereka yang kritis.

"Saya tidak dapat memahami kekejaman yang dilakukan oleh pendudukan Israel di rumah sakit al-Shifa, sebuah fasilitas yang menampung banyak sekali orang yang terluka dan para dokter sipil yang telah meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk memberikan perawatan," kata Khalil.

Ia mengatakan bahwa banyak pasien di al-Shifa telah kehilangan seluruh anggota keluarga mereka, sehingga tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Situasi yang mendesak ini membutuhkan transportasi dengan ambulans, katanya, namun ambulans sangat langka di Jalur Gaza, dengan banyak di antaranya telah dibom dan ambulans tambahan tidak dapat mencapai rumah sakit.

"Sebagian besar kasus yang saya tangani adalah anak-anak, yang kini tidak memiliki staf medis yang memadai, tidak ada bahan medis, tidak ada listrik, dan tidak ada bahan bakar. Mereka benar-benar dibiarkan mati," kata Khalil.

Para pejabat kesehatan Palestina mengatakan setidaknya tujuh pasien yang menggunakan alat bantu hidup telah meninggal sejak pengepungan Al-Shifa dimulai pada hari Jumat, termasuk dua bayi. Kematian mereka disebabkan oleh ventilator dan inkubator bayi yang gagal berfungsi karena kurangnya listrik.

Pada hari Ahad (12/11/2023) pagi, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Dr Munir al-Borsh, mengatakan kepada para wartawan bahwa sekitar 40 pengungsi di rumah sakit tersebut berusaha keluar melalui gerbang utama, namun ditembaki oleh tank Israel yang ditempatkan di jalan yang berdekatan.

Mayat-mayat mereka tetap berserakan di jalan, karena ambulans dan staf, yang berjarak kurang dari 100 meter, tidak dapat mencapai mereka. Pasukan Israel menembaki siapa pun yang bergerak.

Borsh mengatakan bahwa pasukan Israel juga mengebom sumur-sumur air di kompleks medis tersebut dalam semalam. Hanya satu sumur yang beroperasi pada hari Ahad (12/11/2023) yang menyediakan 12 gelas air per jam untuk 15.000 orang yang terjebak di dalamnya. Unit perawatan intensif kembali dihantam setelah 24 jam sebelumnya, katanya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler