Israel Dilaporkan Uji Senjata Baru dalam Perang di Gaza, Seperti Apa Dampaknya?

Luka bakar yang diakibatkan senjata itu sangat dalam dan terbakar hingga ke tulang.

AP Photo/Hatem Ali
Warga Palestina menyelamatkan korban selamat pasca serangan Israel di Rafah, Jalur Gaza, Jumat, 17 November 2023.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Israel dilaporkan melakukan uji coba senjata baru dalam perang di Gaza. Juru bicara Kementerian Kesehatan di Gaza, Ashraf al-Qudra mengatakan, tim medis di Gaza telah mengamati luka bakar parah pada tubuh warga Palestina yang terbunuh dan terluka oleh bom Israel.

Baca Juga


"Tim dokter mengamati luka bakar yang disebabkan oleh ledakan bom Israel atau akibat senjata yang tidak dikenal. Ini sesuatu yang belum pernah mereka lihat dalam konflik sebelumnya," ujar al-Qudra, dilaporkan Aljazirah, Jumat (17/11/2023).

Dr Ahmed el-Mokhallalati dari divisi luka bakar dan bedah plastik di Rumah Sakit al-Shifa, dalam sebuah wawancara dengan Toronto Star, menggambarkan luka tersebut sangat dalam dengan luka bakar tingkat tiga dan empat. Selain itu jaringan kulit dipenuhi dengan partikel hitam, serta sebagian besar ketebalan kulit dan seluruh lapisan di bawahnya terbakar sampai ke tulang.

El-Mokhallalati mengatakan, ini bukanlah luka bakar fosfor, tetapi kombinasi dari semacam gelombang bom pembakar dan komponen lainnya. Militer Israel sejauh ini belum mengomentari pernyataan Kementerian Gaza tersebut.

Pada 22 Oktober tentara Israel merilis rekaman unit komando Maglan yang mengerahkan bom mortir 120mm berpemandu presisi baru yang disebut Iron Sting. Bom itu digunakan untuk melawan Hamas di Gaza.

Produsen bom yang berbasis di Haifa, Elbit Systems, telah mengiklankan kualitasnya di halaman hubungan masyarakat di situs webnya sejak Maret 2021, ketika bom tersebut diintegrasikan ke dalam militer Israel. Benny Gantz, yang saat itu menjadi menteri pertahanan Israel dan sekarang menjadi bagian dari kabinet perang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menggambarkan, Iron Sting dirancang untuk menyerang sasaran dengan tepat, baik di medan terbuka maupun lingkungan perkotaan, sekaligus mengurangi kemungkinan kerusakan tambahan dan mencegah cedera pada korban nonkombatan.

Klaim ini juga disuarakan oleh Mark Regev, mantan juru bicara Netanyahu. Menurut Regev, Israel berusaha untuk bertindak sangat manusiawi. Namun, pengeboman Israel di Gaza yang telah berlangsung ebih dari satu bulan telah membunuh sedikitnya 11.400 warga sipil Palestina, dan melukai 30.000 orang di Gaza dan Tepi Barat. Sementara lebih dari 4.700 anak-anak Gaza meninggal. 

Ahmed Saeed al-Najar (28 tahun) sedang mengemudikan taksinya di Rafah selama perang ketiga di Gaza pada 2014. Ketika itu sebuah rudal drone masuk melalui sunroof taksinya yang terbuka.  Drone itu meledak di dalam mobil, kemudian memenggal kepala dan membunuh keenam penumpangnya, termasuk sahabatnya.

Mobil itu menjadi sasaran roket drone Spike Israel, yang dapat dimodifikasi untuk membawa selongsong fragmentasi ribuan kubus tungsten 3 mm. Drone itu mengenai area dengan diameter sekitar 20 meter.

Kubus tersebut menusuk logam dan menyebabkan....

 

 

Seorang dokter Norwegia yang bekerja di Gaza, Erik Fosse mengatakan, kubus tersebut menusuk logam dan menyebabkan jaringan tubuh terkoyak, atau secara harfiah mencabik-cabik siapa pun yang berada dalam jangkauannya.

Al-Najar selamat dari peristiwa pengeboman itu. Namun dia menderita luka bakar parah, termasuk kehilangan mata kanannya, mengalami beberapa luka pecahan peluru dan kehilangan kaki kanannya di bagian tengah paha yang diamputasi akibat ledakan tersebut.

Israel juga melakukan uji coba drone Heron TP “Eitan” dalam perang dengan Palestina. Eitan adalah kendaraan udara tak berawak (UAV) terbesar di Israel dan mulai digunakan pada 2007. Drone ini diproduksi oleh Israel Aerospace Industries (IAI) milik negara, yang merupakan perusahaan kedirgantaraan dan pertahanan terbesar, serta eksportir industri terbesar di Israel. Eitan dapat terbang hingga 40 jam terus menerus dan dapat membawa empat rudal Spike.

Menurut organisasi non-pemerintah, Drone Wars UK, Eitan pertama kali digunakan selama “Operasi Cast Lead” dalam perang Gaza tahun 2008-2009 untuk menyerang warga sipil. Defense for Children International mengatakan, dari 353 anak-anak yang terbunuh dan 860 terluka selama Operasi Cast Lead, 116 di antaranya meninggal akibat rudal yang diluncurkan oleh drone.

Setelah perang, IAI menyaksikan lonjakan pesanan drone varian Heron dari setidaknya 10 negara antara tahun 2008-2011.  Selama periode ini, lebih dari 100 drone dibeli, disewakan, atau diakuisisi melalui skema usaha patungan.

India, yang merupakan pembeli militer terbesar Israel, mengoperasikan lebih dari 100 UAV buatan Israel. Menurut laporan tahun 2014 oleh Drone Wars  Inggris, India membeli 34 drone Heron pada periode ini, diikuti oleh Prancis 24 drone, Brasil 14 drone dan Australia 10 drone.

“Tidak ada seorang pun yang berperang hanya untuk memamerkan senjatanya,” kata Lawrence Freedman, profesor emeritus studi perang di King’s College London.

Jurnalis dan penulis independen di Laboratorium Palestina, Antony Loewenstein mengatakan, dalam setiap perang melawan Gaza, serangkaian senjata dan teknologi pengawasan telah dikerahkan terhadap warga Palestina yang kemudian dipasarkan dan dijual ke sejumlah besar negara di seluruh dunia. Ekspor senjata mempunyai kegunaan di luar pendapatan yang mereka bawa ke Israel.

“Lebih dari itu, ini juga merupakan kebijakan asuransi untuk melindungi diri mereka dari tekanan kuat untuk mengubah perilaku mereka selama pendudukan Palestina selama beberapa dekade,” kata Loewenstein.

Presiden Kolombia Gustavo Petro menolak untuk mengutuk serangan....

 

 

 

Bulan lalu, Presiden Kolombia Gustavo Petro menolak untuk mengutuk serangan mengejutkan yang dilancarkan Hamas pada 7 Oktober sebagai serangan teroris. Petro justru mengutuk serangan terorisme Israel yang membunuh anak-anak tak berdosa di Palestina.

Sebagai tanggapan, pemerintah Israel menghentikan semua penjualan peralatan pertahanan dan keamanan serta layanan terkait ke negara Amerika Latin tersebut. Kolombia adalah salah satu dari sekitar 130 negara yang telah membeli senjata, drone, dan teknologi spionase siber dari Israel, yang merupakan eksportir senjata terbesar ke-10 di dunia.

Sejauh ini, Israel merupakan eksportir drone militer terbesar di dunia. Pada tahun 2017, Israel diperkirakan menyumbang hampir dua pertiga dari seluruh ekspor UAV selama tiga dekade sebelumnya.

Menurut Database Ekspor Militer dan Keamanan Israel (DIMSE), Elbit, pembuat Iron Sting, menyediakan hingga 85 persen peralatan berbasis darat yang dibeli oleh militer Israeli, dan sekitar 85 persen drone mereka. Setelah perang Gaza tahun 2014, pasar ekspornya juga meningkat secara signifikan.  Erbit mempromosikan UAV Hermes terbukti dalam pertempuran dan menjadi platform utama IDF dalam operasi kontra-teror.

Hermes 450 dan Hermes 900 keduanya digunakan secara luas dalam “Operation Protective Edge”, perang Israel pada tahun 2014. Dalam perang itu, 37 persen kematian disebabkan oleh serangan pesawat tak berawak.

Elbit kemudian mendapatkan kontrak baru untuk drone Hermes 900 dengan lebih dari 20 negara di seluruh dunia termasuk Filipina, yang membeli 13 drone, serta India, Azerbaijan, Kanada, Brasil, Chili, Kolombia, Islandia, Uni Eropa, Meksiko, Swiss, dan Thailand.   Pada bulan Maret 2023, Elbit Systems mengumumkan pesanan ke-120 untuk Hermes 900.

Drone pengintai “Nizoz” (Spark) baru yang diproduksi oleh Rafael, kontraktor senjata milik negara yang membentuk Tiga Besar industri senjata Israel dengan IAI dan Elbit, dilaporkan telah memasuki perang Gaza saat ini.  Rafael memiliki simpanan pesanan yang saat ini mencapai 10,1 miliar dolar AS.

Terlepas dari keberhasilan ekspor militernya, keseluruhan penjualan industri pertahanan Israel masih tertutup. Sebuah laporan dari Amnesty International pada 2019 mencatat bahwa seluruh proses penjualan senjata oleh Israel diselimuti kerahasiaan tanpa dokumentasi penjualan.

"Seseorang tidak dapat mengetahui kapan (senjata ini) dijual, oleh perusahaan mana, berapa banyak, dan seterusnya," ujar pernyataan Amnesty International.

Perusahaan Israel mengekspor senjata yang sampai di....

 

 

 

Amnesty International menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Israel mengekspor senjata yang sampai di tujuan setelah serangkaian transaksi, sehingga mengabaikan pengawasan internasional. Israel belum meratifikasi Perjanjian Perdagangan Senjata, yang melarang penjualan senjata yang berisiko digunakan dalam genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  Oleh karena itu, ekspor senjata mereka telah mempengaruhi jalannya sejarah beberapa negara, banyak di antaranya dipimpin oleh rezim yang kontroversial.

Israel menjual senjata kepada pemerintah apartheid Afrika Selatan pada 1975. Israel bahkan setuju untuk memasok hulu ledak nuklir, namun Israel membantah melakukan hal tersebut.  Napalm dan senjata lainnya dipasok ke El Salvador selama perang kontra-pemberontakan antara  1980-1992 yang menewaskan lebih dari 75.000 warga sipil.

Pada 1994, peluru, senapan, dan granat buatan Israel diduga digunakan dalam genosida di Rwanda yang menewaskan sedikitnya 800.000 orang.  Israel memasok senjata kepada tentara Serbia yang berperang melawan Bosnia pada 1992-1995.

Pada 2018 Pemerintah Israel mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka telah menghentikan penjualan senjata ke Myanmar. Surat kabar Haaretz tahun lalu melaporkan, produsen senjata terus memasok senjata kepada pemerintah militer Myanmar hingga tahun 2022. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap embargo senjata internasional tahun 2017 terhadap negara tersebut.

Pada September tahun ini, Israel memasok UAV, rudal, dan mortir ke Azerbaijan untuk kampanyenya merebut kembali Nagorno-Karabakh, yang menyebabkan 100.000 etnis Armenia mengungsi. Salah satu penyebab sulitnya melacak ekspor senjata Israel adalah sifat perdagangan senjatanya.

“Pemerintah membeli dan menjual satu sama lain secara langsung dan melalui kontraktor pertahanan besar mereka, namun ada juga perdagangan paralel yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang biasanya tidak ilegal namun memberikan penyangkalan yang masuk akal,” kata Stephen Badsey, profesor studi konflik di Universitas Wolverhampton.

Badsey mengatakan, kontrol tunggal terbesar yang dimiliki negara-negara penjual atas penggunaan senjata mereka oleh negara lain adalah persyaratan aturan pengguna akhir atau penggunaan akhir. Namun sebagai eksportir senjata utama yang tidak tunduk pada Perjanjian Perdagangan Senjata, Israel telah membangun reputasi karena norma ekspornya yang longgar.

Pada tahun 2018, mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan, dia akan meminta militernya untuk membeli senjata secara eksklusif dari Israel. Karena Israel tidak memberlakukan pembatasan.

Peraturan pemerintah baru yang diperkenalkan tahun lalu akan memungkinkan Israel untuk menjual lebih banyak senjata ke lebih banyak negara tanpa izin. Hal ini bermanfaat karena angka ekspor senjata Israel meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir, dengan total 12,5 miliar dolar AS pada tahun lalu.

Dua hari setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant membandingkan rakyat Palestina dengan “manusia binatang”. Bagi Loewenstein, komentar-komentar yang tidak manusiawi itu bukanlah hal yang mengejutkan.

“Jelas terlihat jelas atas pendudukan Israel dan peperangan yang tak terhitung jumlahnya bahwa warga Palestina diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Seperti binatang,” kata Loewenstein.

Tentara Israel telah menguji coba peluru karet, senjata robotik....

 

 

 

Selama bertahun-tahun, tentara Israel telah menguji coba peluru karet, senjata robotik bertenaga kecerdasan buatan, dan berbagai bentuk solusi pembubaran massa, yang telah menyebabkan luka parah pada warga Palestina. Nabeel al-Shawa, seorang konsultan ahli bedah ortopedi yang telah bekerja di Gaza sejak tahun 1978, merawat banyak warga Palestina yang terluka akibat tembakan Israel pada Great March of Return pada 2018.

Bagi penembak jitu Israel, ini hanyalah latihan sasaran dengan manusia. Sebagian besar pasien ditembak pada persendiannya dengan sengaja untuk menimbulkan kerusakan maksimal, namun tidak membunuh. "Peluru baru yang digunakan tentara Israel ini menyebabkan cedera yang belum pernah saya lihat sebelumnya.  Dalam beberapa kasus, anggota tubuh tampak utuh, namun selama operasi, saya tidak dapat membedakan antara tulang dan jaringan lunak," ujar al-Shawa.

Seorang analis geopolitik dan keamanan, Zoran Kusovac mengatakan, produsen senjata Israel secara sah dapat memasarkan persenjataan mereka sebagai senjata yang sudah terbukti dalam pertempuran “Jika tujuan utama suatu senjata terbukti di medan perang sebenarnya atau dalam keadaan yang senyata mungkin, maka senjata tersebut terbukti dalam pertempuran," ujarnya.

"Anda tidak bisa menyalahkan negara-negara yang membeli dari Israel.  Anda dapat menguji semua yang Anda inginkan di laboratorium, namun Israel melakukan pengujian di lapangan, dan karena tidak pernah ada jeda waktu antara satu periode pertempuran ke periode berikutnya, siklus pengembangan dilakukan secara real-time," kata Kusovac menambahkan.

Namun misteri bom pembakar, debut Iron Sting, dan laporan penggunaan drone Spark baru dalam perang saat ini menunjukkan bahwa Israel lagi-lagi menguji senjata baru dalam konflik.

“Senjata Israel akan tetap menarik bagi pembeli internasional berdasarkan kinerja pendudukannya.Tetapi Israel tidak hanya menjual senjata;  mereka menjual ideologi tersebut ke negara lain agar bisa lolos begitu saja," kata Loewenstein. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler