Prof Uut yang Risetnya Diakui Dunia Tanggapi Wolbachia Dituduh ‘Nyamuk Bill Gates’  

Pelepasan nyamuk wolbachia ini aman untuk masyarakat dan bukan rekayasa genetik.

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung menunjukkan pakan dan telur nyamuk yang sudah disuntikkan bakteri Wolbachia di Kantor Dinkes Kota Bandung, Bandung, Jawa Barat, Senin (13/11/2023). Pemerintah Kota Bandung telah mengimplementasikan inovasi bakteri wolbachia ke dalam telur-telur nyamuk Aedes aegypty guna menekan kasus DBD di Kota Bandung. Kota Bandung merupakan satu dari lima kota pilot project untuk implementasi penanggulangan DBD berbasis teknologi wolbachia.
Rep: Santi Sopia Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program pelepasan nyamuk wolbachia dari pemerintah untuk mengintervensi atau mengurangi kasus demam berdarah dengue (DBD) menjadi kekhawatiran masyarakat, salah satunya di Bali, sehingga tindakannya harus ditunda. Bahkan, masyarakat dikhawatirkan dengan munculnya tuduhan, seperti nyambuk bill gates, nyamuk bionik, atau dugaan penyakit dari program ini.

Baca Juga


Namun, Prof dr Adi Utarini, peneliti pionir wolbachia, yang risetnya sudah diakui dunia sebagai gold standard, tegas membantah anggapan tersebut. Prof Uut, sapaan akrabnya, menekankan tentu pelepasan nyamuk wolbachia ini aman untuk masyarakat dan bukan rekayasa genetik.

“Nyamuknya beda culex (bukan Bill Gates), penyakitnya gak ada kaitannya dengan wolbachia,” kata kata Prof Uut dalam acara bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Senin (20/11/2023).

Riset yang dilakukan Prof Uut sejak 2011 telah diakui sebagai bukti ilmiah terbaik, rekomendasi AIPI dan WHO VCAG. Prof Uut yang juga pernah masuk 100 tokoh berpengaruh di dunia 2021 versi TIME itu mengatakan nyamuk wolbachia aman bagi hewan, manusia dan lingkungan.

Wolbachia pada Aedes aegypti tidak bisa berpindah ke serangga lain, begitu juga tidak bisa berpindah ke manusia. Aedes aegypti hanya menularkan empat penyakit, yaitu dengue, chikungunya, zika dan malaria. Jika ada penyakit lain yang disebabkan oleh vektor nyamuk lain, kejadian itu tidak dipengaruhi oleh nyamuk yang bukan vektor perantaranya.

Prof Uut mengatakan ketika melakukan penelitian terhadap nyamuk wolbachi pada 2011, Indonesia pernah dikategorikan kedua tertinggi di dunia untuk kasus DBD. Teknologi wolbachia ini menambah deretan upaya yang sudah ada sebelumnya.

“Selama ini kita mengenal pemberantasan sarang nyamuk, megurangi sarangnya, mencegah gigitan dan lain-lain. Cara wolbachia adalah cara melawan virus dengue yang ada di tubuh nyamuk. Wolbachia-nya sendiri menggunakan bakteri alami yang hidup dalam sel serangga dan diturunkan ke generasi berikutnya,” kata peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat di....

 

Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat di sekitar 60 persen serangga, ternasuk pada lalat buah, kupu-kupu. Jika seekor serangga jantan wolbachia kawin dengan serangga betina tanpa wolbachia, maka telur yang dihasilkan tidak akan menetas. Jika serangga betina berwolbachia kawin dengan jantan tanpa wolbachia, maka telur akan menetas dan mengandung wolbachia. Jika keduanya memiliki wolbachia, telur akan menetas dan mengandung wolbachia. 

“Jadi itu bagaimana wolbachia diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. kuncinya pada garis ibu. Wolbachia bukan rekayasa genetik. Jadi bakter ini alami dan terdapat di lebih dari 60 persen serangga di sekitar kita,” lanjut dia.

Jadi ketika wolbachia dimasukan pada telur Aedes aegepty, mekanismenya menghambat perkembanga dari virus dengue, sehingga ketika nyambuk aedes menggigit manusia, maka virusnya tidak ikut berpindah ke manusia. 

Menurut dia, implementasi ini juga dilakukan di sekitar 14 negara. Manfaatnya juga telah menurunkan 83 persen kegiatan fogging nyamuk yang notabene menggunakan bahan kimia. Justru dengan pelepasan wolbachia ini menjadi lebih aman dan ramah lingkungan.

Dari penelitian yang dilakukan 2011 lalu itu dimulai dengan tahapan penelitian fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022). Studi ini menjadi pertama di dunia dengan aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) di Yogyakarta, menggunakan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).

Dari hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1 persen dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86 persen. Bahkan dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian Dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak 2021. 

 

Saat pertama kali diimplementasikan di Yogyakarta juga sempat mengalami penolakan. Namun dengan edukasi dan sosialisasi, masyarakat akhirnya menerima dan merasakan manfaatnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler