Embargo Minyak ke Israel dan Sekutunya tak Lagi Bisa Jadi Senjata
Pada 1973, negara Arab yang tergabung dalam OPEC yang dipimpin Arab Saudi menjatuhkan embargo minyak AS.
DIPLOMASI REPUBLIKA, LONDON – Serangan pasukan Israel ke Gaza yang menyebabkan kematian puluhan ribu warga memicu respons keras. Boikot dan embargo menjadi salah satu perlawanan yang ditempuh untuk menentang Israel dan negara sekutunya atas serangan ke Gaza.
Produk-produk yang produsennya pro-Israel diboikot. Seruan embargo minyak sebagai senjata untuk menghukum Israel, juga diserukan. Khususnya oleh salah satu anggota negara penghasil minyak, OPEC, yaitu Iran.
Seruan ini ingin mengulang langkah serupa berupa embargo OPEC pada 1973. Kala itu negara-negara Arab penghasil minyak memangkas jumlah ekspor ke negara-negara sekutu Israel, termasuk AS dan Inggris, menyusul perang Israel-Arab pada tahun tersebut.
Namun, pengamat dan sumber di OPEC menyatakan dunia energi sekarang ini berbeda jauh dibandingkan 50 tahun lalu. ‘’Diperkirakan tak ada kemungkinkan berlangsungnya embargo baru yang bisa diberlakukan,’’ katanya seperti dilansir Reuters, Selasa (21/11/2023).
OPEC dan mitranya yang dipimpin Rusia atau kerap disebut OPEC+ pada Ahad (19/11) pekan lalu bertemu di Wina, Austria membahas kebijakan produksi. Sejumlah sumber kepada Reuters mengungkapkan, kenaikan pemangkasan produksi kemungkinan dibahas.
Soal seruan embargo minyak, didesakkan bulan lalu oleh Menlu Iran Hossein Amirabdollahian yang meminta anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menjatuhkan embargo dan sanksi terhadap Israel dan mengusir duta besar mereka.
Meski demikian, negara OKI termasuk Iran yang memproduksi sepertiga produksi minyak dunia saat itu tak memutuskan segera menggelar pertemuan untuk membahas ajakan Iran. Maka itu, pada Ahad pekan lalu, ajakan embargo kembali didengungkan.
Kali ini, pemimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei kembali mengajak negara Muslim yang menormalisasi hubungan dengan Israel segera memutuskan hubungan, paling tidak untuk waktu tertentu. Ini beberapa pekan setelah ia mendesak embargo minyak dan pangan.
Namun sayangnya, dalam pertemuan gabungan negara anggota OKI dan Liga Arab di Riyadh pada 11 November lalu, negara-negara Muslim itu tak mencapai kesepakatan untuk menjatuhkan sanksi secara luas terhadap Israel, seperti dimintakan kembali Presiden Iran Ibrahim Raisi.
Mengenang 1973
Pada 1973, negara Arab yang tergabung dalam OPEC yang dipimpin Arab Saudi menjatuhkan embargo minyak AS, sebagai balasan atas dukungan mereka terhadap Israel pada perang di Timur Tengah pada Oktober tahun tersebut.
Embargo yang kemudian diikuti dengan pemangkasan jumlah produksi dijatuhkan juga kepada negara lainnya, termasuk Belanda, Inggris, dan Jepang. Embargo yang dilakukan dunia Islam membuat ketersediaan minyak langka dan antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar.
Dampak buruk terhadap ekonomi AS juga sangat signifikan. Sebab, embargo tersebut memicu kenaikan harga minyak. Namun di sisi lain, krisis ini mendorong pengembangan sumber minyak baru selain di Timur Tengah, di antaranya Laut Utara.
Setengah abad lalu, negara-negara Barat merupakan pembeli utama minyak dari negara Arab. Saat ini berubah, Asialah yang menjadi konsumen utama minyak mentah OPEC, yakni 70 persen dari total ekspor minyak mereka.
‘’Lingkungan geopolitik sekarang berbeda dari 50 tahun lalu,’’ ujar seorang sumber di OPEC. Menurut JPM Morgan, gaya embargo seperti pada 1973 yang dilakukan negara Teluk tak mungkin terjadi. Sebab, dua pertiga minyak negara Teluk kini diekspor ke Asia.
‘’Tambahan lagi, transformasi ekonomi yang dirancang dan diberlakukan di kawasan Asia ini membutuhkan kondisi aman dan mesti terhindar dari konflik berkelanjutan,’’ demikian pernyataan JPM Morgan mengenai tak dimungkinkannya embargo seperti 1973.
Direktur Payne Institute, Morgan Bazilian, menambahkan, lanskap energi telah berubah secara substansial dalam 50 tahun terakhir. ‘’AS kini merupakan produsen minyak dan gas. Mereka juga telah memiliki cadangan besar dalam jangka panjang.’’ (han/reuters)