Pasal Karet Masih Ada? Revisi UU ITE Atur Larangan Penyebaran Hoaks dan Fitnah
Revisi ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi I DPR bersama pemerintah telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Nantinya, revisi tersebut akan dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.
Salah satu yang akan diatur dalam revisi UU ITE ini adalah pasal penyebaran berita bohong atau informasi menyesatkan, yang mengakibatkan kerugian materiil. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 28 ayat 1.
"Serta larangan perbuatan yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik diatur dalam Pasal 28 ayat 2," ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU ITE, Abdul Kharis Almasyhari, dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I, Rabu (22/11/2023).
Selanjutnya, terdapat perubahan ketentuan mengenai larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara langsung kepada korban. Di mana itu berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti korban, diatur dalam Pasal 29.
"Ketentuan mengenai larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti diatur dalam Pasal 29," ujar Kharis.
"Perubahan rujukan pasal ketentuan larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan larangan dan mengakibatkan kerugian materiil diatur dalam Pasal 36," ujarnya.
Adapun sebelum pengambilan keputusan tingkat I revisi UU ITE, Kharis pernah mengatakan pihaknya sudah menguji pasal-pasal yang berkaitan dengan kesusilaan, penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan, dan/atau pengancaman. Tujuannya agar tak ada lagi pasal-pasal karet atau multitafsir dalam UU ITE terbaru nanti.
Jelasnya, Komisi I tentu malu jika revisi keduanya justru kembali menghadirkan pasal karet dan multitafsir. Padahal latar belakang utama revisi UU ITE kali ini adalah adanya desakan masyarakat terkait penggunaan yang salah dari payung hukum tersebut.
"Jadi semangat kita pasti ingin menghilangkan pasal karet, kita ubah normanya, sehingga tidak jadi karet lagi. Ini perlu saya speak di awal, ya, karena ada yang menganggap 'ohh DPR mempertahankan pasal karet,' nggak ada DPR yang mau mempertahankan pasal karet," ujar Kharis dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pembahasan revisi UU ITE, Rabu (23/8/2023).
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi menjelaskan, terdapat lima alasan pemerintah mengusulkan revisi UU ITE. Salah satunya adalah pandangan terkait sejumlah dalam UU ITE saat ini yang multitafsir dan karet.
"Penerapan norma-norma pidana dalam UU ITE berbeda-beda di berbagai tempat. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap norma UU ITE multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat," ujar Budi.