PLN Minta Dukungan Pemerintah Percepat Penambahan Pembangkit EBT
Penerapan pajak karbon diharapkan tidak mempengaruhi tarif listrik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mengharapkan dukungan pemerintah agar perseroan tidak kehilangan pendapatan dari carbon credit dalam bursa karbon (carbon trading). Hal ini untuk mempercepat penambahan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT).
“Kami membutuhkan dukungan pemerintah untuk mempercepat penambahan energi baru dan terbarukan, sehingga emisi dari PLTU tidak akan melebihi batas yang ditetapkan pemerintah,” kata Manager Transisi Energi PLN Arionmaro Asi Simaremare dalam ESG Conference by Maybank Sekuritas “Greener Indonesia: A Path to Carbon Neutral" secara daring, di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Arion mengemukakan dukungan yang diharapkan contohnya dukungan pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dalam pengembangan panas bumi yang berisiko tinggi.
“Jika pemerintah bisa masuk dan terlibat, pembangkit panas bumi bisa dipercepat dan bisa meningkatkan share EBT di PLN,” katanya.
Selain itu, diperlukan juga dukungan pemerintah untuk menciptakan ekosistem untuk pengembangan kapasitas industri EBT nasional. Pada sisi lain, PLN juga mengharapkan dukungan pemerintah agar penerapan pajak karbon nantinya tidak mempengaruhi tarif listrik.
“Kami berharap pajak karbon tidak akan dialihkan ke tarif listrik, ke konsumen. Oleh karena itu kami butuh dukungan pemerintah di masa transisi ini,” katanya.
Menurut Arion, penerapan pajak karbon memiliki dampak positif dalam mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk dalam mendorong inisiatif untuk mengurangi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, dukungan diperlukan karena sebagai perusahaan listrik negara, pendapatan PLN sebagai perusahaan juga terikat oleh subsidi dan kompensasi dari pemerintah.
Presiden Joko Widodo telah meresmikan bursa karbon Indonesia pada 26 September 2023. Meski demikian untuk pajak karbon kemungkinan baru diterapkan pada tahun 2026 mendatang.