Ada Kelegaan dan Ketakutan di Gaza Jelang Gencatan Senjata

Israel tak beri kesempatan warga Gaza untuk meluapkan perasaan bahkan untuk menangis

EPA-EFE/CHRISTOPHE PETIT TESSON
Warga Gaza rindu dengan kampung halaman
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Khaled Loz sudah lelah dengan perang yang telah berlangsung selama lebih dari enam pekan di Gaza. Pengumuman gencatan senjata sementara memberikan angin segar bagi Loz. Dia hanya ingin tidur ketika gencatan senjata mulai berlaku.

“Itu (tidur) adalah hal pertama yang ingin saya lakukan. Saya bosan dengan pengeboman yang terus menerus,” kata Loz, dilaporkan Aljazirah, Kamis (23/11/2023).

Pengeboman udara dan tembakan artileri Israel yang berlangsung setiap hari telah membunuh lebih dari 14.000 warga Palestina di Gaza, termasuk lebih dari 5.600 anak-anak. Sementara diperkirakan 1,7 juta orang dari total 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi, dan banyak dari mereka berpindah dari wilayah utara Jalur Gaza ke selatan menyusul peringatan dari militer Israel.

Namun pengeboman Israel juga meluas ke Gaza tengah dan selatan, sehingga tidak ada satu pun wilayah yang aman. Kamp pengungsi, sekolah, dan rumah sakit juga ikut diserang. Deklarasi gencatan senjata selama empat hari yang akan segera diberlakukan menjanjikan harapan pertama akan adanya kelonggaran bagi masyarakat Gaza.

“Kita bisa mendapatkan kembali jiwa kita sedikit. Kami ingin menyediakan air untuk rumah kami, kami ingin barang-barang masuk, bukan toko-toko yang kosong dimana kami tidak dapat menemukan apa yang kami butuhkan," kata Loz.

Namun gencatan senjata ini juga menjadi kesempatan pertama bagi ribuan keluarga untuk akhirnya berduka atas kehilangan orang-orang tercinta mereka dalam pengeboman tersebut. Sementara warga lainnya berharap jeda pertempuran memungkinkan mereka mencari kerabat dan teman yang hilang. Loz mengatakan, rumah keluarga ibunya di Kota Gaza dibom.

“Saya tidak tahu siapa yang tersisa dari mereka, dan saya tidak tahu siapa yang syahid. Saya ingin mencari paman saya. Di mana mereka, ke mana mereka melarikan diri?,” ujar Loz.

“Kami ingin berduka atas kehilangan mereka. Mereka (Israel) tidak memberi kami kesempatan untuk mengungkapkan perasaan kami, bahkan untuk menangisi teman-teman kami," kata Loz.

Menurut Hamas, gencatan senjata akan memungkinkan pergerakan bebas orang-orang dari utara Gaza ke selatan di sepanjang Jalan Salah al-Din, jalan raya utama wilayah tersebut. Namun tidak ada jaminan pergerakan ke arah utara, yang merupakan basis Kota Gaza, sehingga tidak diketahui apakah orang-orang seperti Loz yang ingin mencari kerabatnya yang hilang di utara akan dapat menuju ke sana.

Etaf Hussien Musataf al-Jamalan, ayah dari lima anak, mengungsi dari Sheikh Radwan, sebuah distrik di Kota Gaza. Dia berharap bisa kembali untuk memeriksa rumahnya selama jeda pertempuran. Al-Jamalan mengatakan, dia memiliki perasaan campur aduk tentang gencatan senjata tersebut.

“Kami ingin memeriksa rumah kami. Mungkin mengambil beberapa perbekalan atau apa pun,” kata al-Jamalan.

Al-Jamalan menambahkan, dia sedih karena ketentuan gencatan senjata mungkin tidak mengizinkan hal itu. Dia tidak tahu apakah rumahnya masih berdiri. Namun dia lebih memilih untuk tinggal di tenda di lingkungan rumahnya daripada tinggal di tenda pengungsi.

Enas al-Jamalah (12 tahun) juga berasal dari Sheikh Radwan. Saat mengungsi ke Deir el-Balah, ia dan ribuan orang lainnya tidur di luar ruangan saat musim dingin tiba di Gaza, dengan suhu turun di malam hari hingga 15 derajat Celsius (59 derajat Fahrenheit).  Dia ingin pulang ke rumahnya untuk mendapatkan kehangatan.

“Kami hanya ingin menjadi hangat,” kata al-Jamalah.

Baca Juga


Warga Gaza rindu kampung halaman....



Kerinduan akan kampung halaman juga dirasakan oleh Fatima Qudayh. Perempuan berusia 37 tahun itu berasal dari Kota Khuza’a. Dia melarikan diri ke dekat Khan Younis di Gaza selatan dua hari setelah perang.

Rumahnya di Khuza’a telah rusak akibat perang tahun 2021, namun Qudayh dan keluarganya telah membangunkembali rumah mereka. Kini, dia tidak tahu apakah rumahnya masih baik-baik saja, rusak atau hancur. Dia berharap bisa berkunjung ke rumahnya setelah gencatan senjata mulai berlaku.

Keenam anak Qudayh hampir tidak bisa tidur sejak perang dimulai. “Setiap malam terjadi pengeboman dimana-mana. Setiap hari, mereka bertanya kepada saya tentang rumah itu. Apakah tidak apa-apa? Apakah mainan mereka baik-baik saja dan kamar mereka baik-baik saja?,” ujarnya.

“Saya katakan pada mereka, saya berdoa semoga mereka baik-baik saja, namun yang paling penting adalah kalian baik-baik saja," kata Qudayh.

Israel dan Hamas menyetujui gencatan senjata empat hari. Gencatan senjata ini menandai terobosan diplomatik besar pertama sejak pertempuran dimulai lebih dari enam minggu lalu.

Berdasarkan kesepakatan yang ditengahi Qatar, pejuang Palestina akan membebaskan 50 perempuan dan anak-anak yang diculik dalam serangan lintas batas pada 7 Oktober. Serangan Hamas yang mengejutkan tersebut dianggap dengan serangan udara dan darat yang dilakukan Israel di Gaza. Serangan Israel telah menyebabkan 14.100 warga Palestina terbunuh, sebagian besar wanita dan anak-anak.

Gencatan senjata ini menawarkan kepada warga Gaza prospek jeda yang sangat diinginkan, meskipun singkat. Sumber dari Hamas dan Jihad Islam sebelumnya mengatakan, gencatan senjata akan mencakup gencatan senjata total di lapangan dan penghentian operasi udara Israel di Gaza selatan.

Beberapa poin dalam kesepakatan gencatan senjata adalah enghentikan semua lalu lintas udara Israel di utara Gaza selama enam jam sehari, dari pukul 10.00 hingga 16.00. Selama periode gencatan senjata, Israel harus berkomitmen tidak menyerang atau menangkap warga Palestina di Jalur Gaza. Israel juga harus menjamin kebebasan bergerak warga Palestina dari utara ke selatan Gaza, di sepanjang Jalan Salah El-Din. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler