Perubahan Iklim Buat Banyak Spesies Hewan Berevolusi untuk Beradaptasi
Banyak spesies hewan harus berevolusi untuk keberlangsungan hidup.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim mengancam kelangsungan hidup tanaman dan hewan di seluruh dunia seiring dengan kenaikan suhu dan perubahan habitat. Beberapa spesies telah mampu menjawab tantangan ini dengan adaptasi evolusioner yang cepat dan perubahan perilaku atau fisiologi lainnya.
Misalnya, capung berwarna gelap menjadi lebih pucat untuk mengurangi jumlah panas yang mereka serap dari matahari. Tanaman sawi juga berbunga lebih awal untuk memanfaatkan pencairan salju yang lebih awal. Kadal menjadi lebih toleran terhadap suhu dingin untuk mengatasi variabilitas ekstrim iklim yang baru.
Namun, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa laju perubahan iklim berkembang lebih cepat daripada evolusi spesies, demikian seperti dilansir Phys, Jumat (24/11/2023). Penelitian yang menganalisa populasi 19 spesies burung dan mamalia, termasuk burung hantu dan rusa, menunjukkan hambatan potensial untuk beradaptasi.
Hewan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk mencapai usia berkembang biak, sementara iklim telah bergeser pada saat keturunan mereka lahir. Gen-gen yang memberikan keuntungan bagi induknya -seperti menetas pada waktu yang tepat atau tumbuh dengan ukuran terbaik- tidak lagi bermanfaat bagi keturunannya.
Faktanya, laju evolusi juga sangat tidak sesuai dengan laju pemanasan global sehingga penulis studi memperkirakan bahwa hampir 70 persen populasi lokal yang mereka pelajari, sudah rentan terhadap kepunahan yang disebabkan oleh iklim dalam beberapa dekade mendatang.
Hewan bertubuh kecil, seperti ikan, serangga, dan plankton, biasanya tumbuh dewasa dengan cepat. Namun, penelitian terbaru tentang ikan kecil dan sejenis plankton yang cepat dewasa (copepod) mengungkap rintangan lain bagi adaptasi genetik yang cepat terhadap perubahan iklim.
Banyak spesies memiliki gen yang memungkinkan mereka untuk hidup di lingkungan yang lebih hangat 1 hingga 2 derajat Celcius dari saat ini. Tetapi mutasi genetik baru harus muncul untuk memungkinkan kelangsungan hidup jika iklim mencapai 4 hingga 5 derajat Celcius lebih hangat, seperti yang mungkin terjadi di beberapa wilayah, terutama jika emisi gas rumah kaca terus berlanjut dengan kecepatan tinggi.
Untuk menguji ketahanan spesies, para ilmuwan menghangatkan populasi spesies yang cepat dewasa ini selama beberapa generasi untuk mengamati perubahan genetik mereka. Peneliti menemukan bahwa copepod dan ikan kecil mampu beradaptasi dengan beberapa derajat pemanasan pertama, tetapi populasi segera punah di atas itu. Hal ini karena mutasi genetik yang meningkatkan kemampuan mereka untuk hidup dalam kondisi yang lebih panas terjadi lebih lambat daripada kenaikan suhu.
Spesies berdarah dingin, seperti kadal, katak, dan ikan, sangat rentan terhadap perubahan iklim karena mereka memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengatur suhu tubuh mereka sendiri. Kemampuan mereka untuk berevolusi sebagai respons terhadap perubahan iklim diharapkan menjadi sangat penting untuk kelangsungan hidup mereka.
Namun, adaptasi yang cepat terhadap perubahan iklim membuat populasi menjadi lebih kecil karena kematian individu yang tidak dapat mentolerir suhu baru yang lebih panas. Oleh karena itu, meskipun spesies berevolusi untuk bertahan hidup dengan perubahan iklim, populasi mereka yang lebih kecil masih bisa punah karena masalah seperti perkawinan sedarah, mutasi baru yang berbahaya, atau nasib buruk, seperti wabah penyakit.
Dalam sebuah penelitian klasik, para peneliti yang mempelajari kadal di Meksiko menemukan bahwa tingkat kematian yang tinggi hanya pada individu-individu yang peka terhadap panas, menyebabkan 12 persen dari seluruh populasi kadal di Meksiko punah antara tahun 1975 dan 2009.
Bahkan dengan beberapa kadal dewasa yang toleran terhadap panas dan bisa bertahan hidup di kondisi lebih hangat, para peneliti memperkirakan perubahan iklim akan membunuh begitu banyak kadal dewasa yang peka terhadap panas di setiap populasi. Diperkirakan, 54 persen dari semua populasi kadal bakan punah pada tahun 2080.
Cara lain yang dilakukan spesies untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan suhu adalah aklimatisasi, yang terkadang disebut plastisitas fenotipik. Sebagai contoh, burung great tits di Inggris bertelur lebih awal pada tahun-tahun yang lebih hangat, sehingga anak-anak mereka menetas tepat saat cuaca musim dingin berakhir, kapan pun itu.
Namun, analisis terbaru terhadap lebih dari 100 spesies kumbang, belalang, dan serangga lainnya di seluruh dunia menemukan bahwa aklimatisasi mungkin tidak cukup membantu spesies-spesies tersebut. Para penulis studi menemukan bahwa spesies yang mereka tinjau memperoleh rata-rata hanya 0,1 derajat Celcius toleransi panas yang lebih besar ketika menyesuaikan diri dengan suhu udara yang lebih hangat 1 derajat Celcius selama masa perkembangannya. Dengan demikian, laju pemanasan global tampaknya juga melampaui kemampuan spesies untuk menyesuaikan diri.
Tumbuhan dan hewan juga dapat menghindari dampak pemanasan global dengan bermigrasi ke habitat yang lebih dingin. Sebuah analisis global terhadap lebih dari 12 ribu spesies tanaman dan hewan baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak spesies bermigrasi ke arah kutub dengan cukup cepat untuk mengimbangi peningkatan suhu, dan banyak spesies tropis juga bergerak ke dataran yang lebih tinggi.
Meskipun demikian, migrasi memiliki batasnya. Penelitian menunjukkan bahwa burung-burung tropis yang sudah hidup di pegunungan, bisa jadi akan punah karena tidak ada tempat bagi mereka untuk bermigrasi lebih jauh lagi. Oleh karena itu, spesies tropis mungkin berada pada apa yang penulis sebut sebagai eskalator menuju kepunahan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa begitu saja berasumsi bahwa tanaman dan hewan akan mampu menyelamatkan diri dari perubahan iklim. Untuk melindungi spesies-spesies ini, manusia harus menghentikan aktivitas yang memicu perubahan iklim.