Kemenparin Bahas Potensi Besar Bisnis Cokelat Indonesia

Indonesia telah punya 11 perusahaan pengolahan kakao intermediate.

Antara/Harviyan Perdana Putra
Petani menyemprotkan pupuk cair organik di kebun miliknya di Desa Kenconorejo, Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Sabtu (22/1/2022). Penyemprotan di batang pohon kakao itu untuk penguat kualitas buah kakao sehingga nantinya dapat menghasilkan buah kakao yang berkualitas dan banyak agar dapat memenuhi target panen sebesar 800 ton dalam setahun.
Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengadakan diskusi untuk membahas potensi bisnis coklat asal Indonesia yang mengalami peningkatan permintaan di tengah ketersediaan yang kian menurun untuk membangkitkan semangat petani muda menanam pohon kakao.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Edy Sutopo mengemukakan bahwa berdasarkan catatan Kementerian Pertanian (Kementan) lahan kakao berjumlah 1,4 juta hektare, namun neraca perdagangan coklat Indonesia masih defisit.

"Ketika kita keluar negeri, kita bawa oleh-oleh cokelat dari luar. Padahal kita punya pohon, sedangkan kita membeli dari mereka yang tidak punya pohon," kata Edy dalam paparannya saat acara kongkow sobat industri dengan tema "mengenal manisnya coklat lokal" di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (29/11/2023).

Dalam diskusi ini, Kemenperin juga menghadirkan pengusaha Irvan Helmi, pemimpin perusahaan Pipiltin Cocoa dan Ketua Asosiasi Petani Kakao (Askindo), Arif Zamroni dan diikuti oleh para peneliti, pengusaha dan sejumlah awak media massa.

Menurut Edy, kondisi ini menjadi pemicu bagi pemerintah untuk mengajak pengusaha dan asosiasi pengusaha coklat bergerak membangkitkan paradigma bagaimana Indonesia jadi episentrum dunia untuk kakao dan olahannya ke depan.

Edy menyampaikan telah ada 11 perusahaan pengolahan kakao intermediate seperti kakao leker, coco batter, coco kiek yang menjadi bahan baku untuk produk olahan coklat di Indonesia dengan kapasitas 739 ribu ton per tahun.

"Untuk produk cokelat intermediate ini, kita saat ini sudah menjadi nomor 3 atau 4 di dunia internasional dengan ekspan/ekspor kita lebih dari 1,12 miliar dolar AS dan ini pangsa pasar kita di dunia internasional itu 9,17 persen," katanya.

Selanjutnya, kata dia, ada coklat olahan industrial yang mengolah kakao intermediate dengan kualitas coklat yang tidak terlalu selektif.

Industri olahan coklat di Indonesia terdapat 900 perusahaan kapasitas 442 ribu ton per tahun. Tapi ekspornya masih kecil sekali di bawah 100 juta dolar AS, sehingga masih di posisi 42 dunia.

Dengan begitu, di tengah keterbatasan persediaan bahan baku coklat lokal Indonesia, pasar bagi industri olahan coklat saat ini lebih besar dari kakao intermediate.

"Jadi ini yang mungkin perlu kita dorong perkembangannya, dan ini kontribusi kita masih di global baru 0,23 persen dari market size berdasarkan data yang kami peroleh itu 33,2 miliar US dollar," jelasnya.

Kemudian, lanjut Edy, untuk cokelat artisan atau coklat kualitas pilihan, saat ini ada 31 perusahaan dengan kapasitas sekitar 1.242 ton per tahun dan saat ini pangsa pasarnya di dalam negeri sekitar 1,3 persen.

Padahal potensinya bisa sampai dengan 10 persen dari total kebutuhan pasar cokelat, karena bahan baku pilihan lebih terbatas lagi.

"Jadi saat ini banyak perusahaan baik yang intermediate atau artisan yang tidak mendapatkan pasokan biji," ujarnya.

Edy menyebutkan, jika dilihat dari keseluruhan, tiga-tiganya, pada tahun 2014, dari kebutuhan bahan baku biji kakao sekitar 363 ribu ton, 70 persen dipasok dari produksi dalam negeri. Tapi pada tahun 2022, pasokan dalam negeri turun hanya 45 persen.

"Jadi yang tahun 2014 kita masih lebih besar pasokan kita dari pada impor, tahun 2022 lebih besar impornya. Bahkan kalau kita lihat, tengok sedikit tahun 2021 itu pasokan dalam negeri hanya 37 persen. Tapi ini mungkin perlu kita didiskusikan bersama," katanya.

Baca Juga


sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler