Tawanan Hamas Disebut-sebut Alami Stockholm Syndrome, Apa Itu?

Stockholm Syndrome terjadi saat tahanan memiliki rasa simpati pada penculiknya.

Al Qassam brigades via AP
Gambar ini diambil dari video yang dirilis oleh brigade Al Qassam di saluran Telegramnya, menunjukkan Yocheved Lifshitz, 85, tengah, dan Nurit Cooper, 79, dikawal oleh Hamas saat mereka dilepaskan ke Palang Merah di lokasi yang tidak diketahui, Senin, (23/10/2023).
Rep: Meiliza Laveda Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah stockholm syndrome ramai diperbincangkan di platform media sosial X yang dikaitkan dengan perang Hamas dan Israel. Pada masa gencatan senjata, Hamas dan Israel saling melepaskan tahanan mereka.

Baca Juga


Banyak warganet yang menyebutkan tahanan Hamas memiliki wajah bahagia. Tak tanggung-tanggung, mereka dilaporkan berfoto dan melambaikan tangan kepada tentara Hamas. Perilaku ini dikaitkan dengan stockholm syndrome.

Sebenarnya, apa itu stockholm syndrome?

Dilansir WebMD, Kamis (30/11/2023), stockholm syndrome bukan diagnosis psikologis. Sebaliknya, ini adalah cara untuk memahami respons emosional beberapa orang terhadap penculik atau pelaku kekerasan.

Terkadang orang yang menjadi tahanan atau sasaran pelecehan dapat mempunyai perasaan simpati atau perasaan positif lainnya terhadap penculiknya. Hal ini tampaknya terjadi selama berhari-hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun di lokasi penawanan dan melakukan kontak dekat dengan penculiknya.

Ikatan dapat tumbuh antara korban dan penculiknya. Hal ini dapat menghasilkan perlakuan yang baik dan lebih sedikit dampak buruk dari pelaku karena mereka juga dapat menciptakan ikatan positif dengan korbannya.

Seseorang yang mengidap stockholm syndrome mungkin memiliki perasaan yang membingungkan terhadap pelakunya, termasuk.

  • Cinta
  • Simpati
  • Empati
  • Keinginan untuk melindungi mereka

Stockholm syndrome juga dapat menyebabkan sandera memiliki perasaan negatif terhadap polisi atau siapa pun yang mencoba melakukan penyelamatan.

Sindrom ini pertama kali....

 

 

Sindrom ini pertama kali dinamai pada 1973 oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog di Stockholm, Swedia. Dia menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan reaksi tak terduga yang dilakukan para sandera dalam penggerebekan bank terhadap penculiknya.

Meskipun ditahan dalam situasi yang mengancam jiwa, orang-orang ini menjalin hubungan positif dengan para penculiknya. 

Mengapa orang bisa terkena stockholm syndrome?

Tidak semua orang yang berada dalam situasi tersebut mengalami stockholm syndrome. Selain itu, tidak sepenuhnya jelas alasan beberapa orang bereaksi seperti ini. Namun, respons seperti stockholm syndrome dianggap sebagai mekanisme bertahan hidup. Seseorang mungkin menciptakan ikatan ini sebagai cara untuk mengatasi situasi ekstrem dan menakutkan.

Beberapa hal penting tampaknya meningkatkan kemungkinan terjadinya stockholm syndrome, seperti:

 

  • Berada dalam situasi yang penuh emosi untuk waktu yang lama
  • Berada di ruang bersama dengan penyandera dengan kondisi yang buruk (misalnya tidak cukup makanan, ruang yang secara fisik tidak nyaman)
  • Ketika sandera bergantung pada penyandera untuk kebutuhan dasar
  • Ketika ancaman terhadap nyawa tidak dilakukan (misalnya eksekusi palsu)
  • Ketika para sandera belum mengalami dehumanisasi

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler