Presiden COP28 Yakin Bisa Buat Kesepakatan Kurangi Bahan Bakar Fosil
COP28 Dubai dinilai akan membuahkan kesepakatan kurangi bahan bakar fosil.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi perubahan iklim PBB ke-28 atau Conference of Parties (COP28) di Dubai hampir mencapai terobosan besar dalam mengurangi bahan bakar fosil yang memanaskan Bumi, demikian menurut tuan rumah Uni Emirat Arab. Tim negosiasi UEA percaya bahwa COP28 akan bisa membuahkan kesepakatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dalam beberapa dekade mendatang. Bahkan mungkin meninggalkannya sama sekali.
Menyelenggarakan konferensi iklim di negara petro-state terdengar seperti awal dari sebuah lelucon yang buruk, tetapi ada tanda-tanda bahwa konferensi ini dapat menghasilkan kemajuan nyata dalam mengatasi masalah iklim. Misalnya, rencana penghapusan bahan bakar fosil telah termaktub dalam teks yang sedang dibahas di Dubai, dan itulah yang diinginkan oleh orang yang bertanggung jawab atas negosiasi ini yaitu Sultan al-Jaber, presiden COP28 dan kepala perusahaan minyak negara UEA, Adnoc.
Ambisinya tersebut sangat disayangkan tidak diberitakan secara luas. Itu lantaran Jaber mengutarakan ambisinya dengan bahasa birokrasi yang hanya dimengerti oleh para kepala COP yang paling berkomitmen. Jaber mengatakan bahwa dirinya mendorong para pihak untuk mengajukan terminologi untuk menghentikan bahan bakar fosil pada teks yang dinegosiasikan.
“Saya telah berbicara dengan perwakilan dari semua negara di dunia dan mendesak mereka untuk menyetujui teks final COP28 untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, atau setidaknya mengurangi secara bertahap,” kata Jaber seperti dilansir BBC, Jumat (8/12/2023).
Jaber telah berulang kali berjanji bahwa pertemuan COP28 akan mengambil jalan yang lebih progresif, dan melakukan hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak orang mungkin terkejut bahwa UEA, negara yang kaya akan minyak bumi, sedang berupaya membuat dunia setuju untuk berhenti menggunakan barang tersebut.
Jaber juga menyatakan bahwa beberapa pernyataannya telah disalah artikan oleh media. “Saya telah mengatakan berulang kali bahwa pengurangan dan penghapusan bahan bakar fosil tidak dapat dihindari,” kata Jaber.
Jaber hadir dalam konferensi pers bersama dengan otoritas PBB untuk ilmu iklim, Prof Jim Skea, yang merupakan kepala Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC). Prof Skea menjelaskan bahwa untuk mencapai target membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, berarti harus menyingkirkan batu bara sepenuhnya pada tahun 2050. Minyak harus dikurangi hingga 60 persen, begitupun gas alam hingga 45 persen.
Menurut Jaber, UEA telah menyadari bahwa dunia harus menghentikan kecanduannya terhadap bahan bakar fosil yang tak kunjung habis. Mereka juga telah memutuskan untuk menempatkan diri pada sisi yang benar dalam sejarah dengan mencoba untuk memiliki keputusan tersebut.
Lantas apa kiranya yang membuat Jaber berpikir bahwa ia bisa mendapatkan kesepakatan penghentian bahan bakar fosil?
Lebih dari 100 negara, termasuk AS dan Uni Eropa, telah mengatakan bahwa mereka ingin melihat penghentian penggunaan bahan bakar fosil. China telah menahan diri dalam masalah ini, tetapi beberapa pekan lalu ada petunjuk bahwa posisinya mungkin telah berubah.
Untuk pertama kalinya mereka berbicara tentang target pengurangan emisi dari pembangkit listrik ketika Presiden AS Biden bertemu dengan Presiden Xi dari Cina di sebuah pertemuan di California. Dan perlu diingat, Cina adalah pemimpin dunia dalam hal produksi dan instalasi teknologi terbarukan.
Rusia juga enggan untuk mendukung tindakan terhadap iklim, namun tim UEA sangat yakin bahwa Rusia dapat "dibujuk". Hal ini menunjukkan bahwa semacam kesepakatan mungkin telah dilakukan dan para ahli kebijakan iklim Rusia mengatakan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi.
Mereka mengatakan bahwa Rusia mengambil pendekatan yang sangat transaksional terhadap janji PBB ini, terutama karena Presiden Rusia Vladimir Putin tidak akan merasa berkewajiban untuk mematuhi komitmen apa pun.
Namun, Jaber masih belum berhasil menyelesaikannya. Masalah terbesarnya adalah dengan tetangganya, Arab Saudi yang merupakan produsen minyak dan gas terbesar kedua di dunia setelah AS, menolak kesepakatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Menteri Energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, ditanya apakah negaranya akan mendukung kesepakatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dalam sebuah wawancara TV di ibukota Saudi, Riyadh, awal pekan ini.
"Tentu saja tidak," jawabnya.