Imigran Rohingya Via Aceh: Jaringan Penyelundupan Libatkan Warga Lokal di Tiga Provinsi
Dugaan penyelundupan imigran Rohingya terungkap seusai aparat melakukan penyelidikan.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Kepolisian Daerah (Polda) Aceh bersama polres jajaran mengungkap dugaan penyelundupan imigran Rohingya ke Indonesia melalui sejumlah tempat di Provinsi Aceh. Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Joko Krisdiyanto di Banda Aceh, Jumat (15/12/2023), mengatakan, dugaan penyelundupan imigran Rohingya itu terungkap setelah aparat kepolisian menyelidiki dan memeriksa sejumlah terduga pelaku yang ditangkap.
"Penyelundupan imigran Rohingya dikoordinasi oleh koordinator utama di Security Camp Bangladesh beserta kapten kapal yang membawa orang-orang etnis Rohingya ke Indonesia melalui Aceh," kata Joko.
Joko mengatakan, para imigran Rohingya itu dipungut biaya berkisar Rp 3 juta hingga Rp 15 juta untuk berlayar ke Indonesia. Setelah uang terkumpul, koordinator penyelundupan yang terdiri kapten kapal, nakhoda, dan operator mesin kapal membeli bahan bakar minyak serta bahan makanan untuk bekal selama pelayaran.
"Setelah dipotong biaya operasional, seperti bahan bakar, makanan, dan lainnya, keuntungan membawa imigran Rohingya tersebut dibagi untuk kapten, nakhoda, operator mesin, serta koordinator utama di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh," katanya.
Dari hasil pemeriksaan terhadap para terduga pelaku, kata Joko, para imigran tersebut didata berdasarkan negara tujuannya, apakah Indonesia, Malaysia, atau Thailand. Selanjutnya mereka dinaikkan ke kapal sesuai negara tujuan.
"Dalam jaringan ini juga ada keterlibatan warga negara Indonesia. Keterlibatan mereka membantu untuk mengeluarkan imigran Rohingya dari tempat penampungan," tambah Joko.
Setelah imigran Rohingya itu berhasil mereka keluarkan dari tempat penampungan, selanjutnya dibawa ke Tanjung Balai, Sumatera Utara, atau Dumai, Riau, untuk diselundupkan ke Malaysia.
"Biayanya berkisar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per orang. Sejak Oktober 2015 hingga Desember 2023 ini, Polda Aceh menangani 23 kasus penyelundupan imigran Rohingya dan menetapkan 42 orang sebagai tersangka," ungkap Joko Krisdiyanto.
Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh juga menemukan indikasi jaringan penyelundupan orang yang masuk ke Indonesia lewat Aceh, melibatkan warga lokal yang berada di tiga provinsi. Indikasi itu setelah mereka memeriksa 11 pengungsi Rohingya.
Kepala Satuan Reskrim Polresta Banda Aceh Kompol Fadillah Aditya Pratama di Banda Aceh, Kamis (14/12/2023), mengatakan, 11 pengungsi Rohingya yang diperiksa adalah bagian dari 137 orang yang mendarat di Pantai Lamreh, Kabupaten Aceh Besar, pada 10 Desember lalu. Hasil pengembangan mengarah pada dua orang pengungsi di dalam kelompok itu, yang kuat dugaan berperan penting dalam jaringan penyelundupan orang mulai dari Bangladesh sampai ke Indonesia.
"Dari hasil penyelidikan kami, memang keduanya punya peran yang penting. Dari saksi-saksi lain menguatkan diduga ada transaksi, ada keuntungan yang dimiliki, dan memang ada yang mengendalikan atau merekrut sekian ratus orang etnis Rohingnya yang masuk ke Aceh," ungkap Fadilah.
Ia mengatakan selain memeriksa saksi-saksi, polisi juga menggunakan teknologi untuk melacak jalur komunikasi jaringan tersebut dari telepon genggam yang disita dari salah satu pengungsi. Dari hasil pengembangan, polisi menemukan jaringan pengiriman Rohingnya melibatkan warga lokal di tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.
Namun, Fadillah mengatakan belum bisa membuka lebih banyak detail penyelidikan sampai saatnya akan diungkap saat penetapan tersangka. Pihaknya ingin benar-benar memastikan dari bukti-bukti yang dikumpulkan karena perkara tersebut juga melibatkan tim yang terdiri dari pihak imigrasi, saksi ahli bahasa, dan Direktorat Reserse Umum Polda Aceh.
"Sejauh ini mereka masih status saksi, akan segera kita tetapkan tersangka," ucapnya.
Di Riau, Pekan Baru, Polres Kota Pekanbaru pada Kamis (14/12/2023), mengamankan sebanyak 13 orang pengungsi Rohingnya yang terdiri atas enam pria dewasa, lima wanita dan satu balita yang telantar di Jalan Sudirman, Kota Riau, tepatnya di depan Konsulat Malaysia. Kepala Satuan Samapta Polresta Pekanbaru Komisaris Polisi Maryanta di Pekanbaru, Jumat, mengatakan para imigran Rohingya itu diamankan setelah pihaknya menerima laporan dari masyarakat.
Para imigran itu kemudian dibawa ke tempat penampungan sementara di Rumah Detensi Imigrasi Pekanbaru, Kecamatan Bukit Raya. “Hasil koordinasi kita bawa dulu ke Kantor Imigrasi, kita berikan makan,” katanya
Maryanta mengatakan, tidak satu pun dari para pengungsi Rohingya itu yang bisa berbahasa Indonesia maupun Inggris, sehingga polisi kesulitan menginterogasi mereka. Sesekali mereka juga meminta makanan dari para pejalan kaki yang melintas dengan menggunakan bahasa isyarat tangan. Namun, dengan bahasa Inggris yang terbata-bata diketahui mereka berangkat dari Bangladesh.
"Mereka mengaku tidak tahu siapa yang membawanya ke Pekanbaru dan tidak tahu juga akan berbuat apa di daerah ini. Mereka mengaku hanya mengikuti perintah orang hingga akhirnya sampai di Pekanbaru," katanya.
Ketika sampai di Pekanbaru pada Rabu (13/12/2023) malam, para pengungsi itu pun tidur di jalanan. Tidak ada juga satu pun dari mereka yang memiliki identitas dan barang bawaannya hanya berupa tas berisi pakaian.
"Mereka lebih banyak menjawab tidak tahu saat ditanya soal biaya dan alat transportasi yang digunakan ke Pekanbaru," tambah Maryanta.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengatakan, bahwa saat ini pemerintah sedang mengumpulkan tiga provinsi sasaran pengungsian sementara Rohingya untuk dapat rapat forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda).
"Sekarang sedang kami (pemerintah) galang tiga provinsi sasaran pengungsi Rohingya, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Riau, untuk rapat forkopimda bersama mencari tempat sementara dan harus betul-betul sementara demi kemanusiaan," kata Mahfud di kawasan Gambir, Jakarta, Kamis kemarin.
Langkah itu, kata Mahfud, demi kepentingan kemanusiaan. Kendati demikian, tetap mementingkan kepentingan nasional.
"Akan tetapi, kemanusiaan kita juga harus memperhatikan kepentingan nasional kita karena kepentingan nasional kita juga banyak manusia-manusia yang memerlukan," katanya.
Mahfud menjelaskan, bahwa sebenarnya Indonesia berhak untuk tidak menerima pengungsi Rohingya karena tidak menandatangani ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Akan tetapi, diplomasi Indonesia adalah diplomasi kemanusiaan.
"Indonesia itu berhak mengusir menurut hukum internasional. Akan tetapi, diplomasi Indonesia adalah diplomasi kemanusiaan sehingga semua yang datang ditampung," ujarnya.
Akan tetapi, lanjut dia, saat ini masyarakat lokal yang biasa menerima pengungsi Rohingya sudah mulai memprotes langkah pemerintah tersebut.
"Ini sudah bertahun-tahun malah bertambah, terus ditampung di sana, bertambah lagi, ditampung di sana, bertambah lagi. Yang sekarang ini masyarakat lokalnya sudah mulai protes 'Pak kami juga miskin, kenapa nampung orang?' Dan seterusnya," kata Mahfud.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Global Refugee Forum (GRF) di Kantor PBB, Jenewa, Swiss, Rabu (13/12/2023), menegaskan bahwa akar masalah pengungsi Rohingya harus segera selesai. Menurut dia, kekerasan yang terus terjadi di Myanmar akibat pertentangan antara junta militer dan warga sipil telah memaksa warga Rohingya untuk meninggalkan negara itu, dan banyak di antara mereka akhirnya masuk ke Indonesia.
"Oleh karena itu, saya mengajak masyarakat internasional bekerja sama menghentikan konflik dan memulihkan demokrasi di Myanmar sehingga pengungsi Rohingya dapat kembali ke rumah mereka, yaitu di Myanmar," ujar Retno ketika menyampaikan keterangan pers secara daring dari Jenewa.
Selain itu, di dalam Forum GRF, dia juga mengingatkan adanya indikasi kuat bahwa para pengungsi telah menjadi korban dari tindak pidana perdagangan dan penyelundupan manusia atau (TPPO), termasuk ribuan pengungsi yang datang ke Indonesia. Praktik TPPO disebut Retno makin menambah kompleksitas dan sulitnya penanganan isu pengungsi.
"Saya jelaskan bahwa Indonesia tidak akan ragu-ragu untuk memerangi TPPO yang merupakan kejahatan transnasional. Namun, Indonesia tidak dapat menjalankannya sendiri," kata dia.