Iklim di Skotlandia Berubah Lebih Cepat dari yang Diperkirakan
Perubahan iklim yang cepat dikhawatirkan berdampak pada produksi pangan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi dari The James Hutton Institute menemukan bahwa iklim Skotlandia berubah lebih cepat dari yang diperkirakan. Menurut peneliti, suhu maksimum rata-rata pada bulan Februari di beberapa daerah Skotlandia menyentuh 2,5 derajat Celcius lebih hangat, sementara curah hujan berada pada tingkat yang diperkirakan untuk tahun 2050.
Mereka khawatir bahwa perubahan tersebut dapat mempengaruhi produksi pangan dan upaya untuk melindungi lahan gambut yang menyimpan karbon. Para peneliti telah membandingkan catatan suhu dan curah hujan dari periode antara tahun 1960-1989 hingga tiga dekade dari tahun 1990 hingga 2019.
Di beberapa bagian Skotlandia, suhu maksimum bulanan rata-rata di bulan Februari naik 2,5 derajat Celcius, sementara suhu maksimum tertinggi meningkat dari 12,6 derajat Celcius menjadi 13,4 derajat Celcius.
“Perubahan suhu maksimum bulanan rata-rata pada bulan Februari sebanding dengan kisaran yang lebih rendah dari apa yang telah diprediksi oleh pemodelan iklim untuk tahun 2020-2050. Serangkaian badai telah membawa cuaca yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Skotlandia dalam beberapa tahun terakhir,” kata peneliti utama Mike Rivington seperti dilansir BBC, Selasa (26/12/2023).
Badai Arwen pada tahun 2021 membawa angin berkecepatan 100 mph ke arah timur laut yang meratakan seluruh hutan, dan membuat banyak orang tidak mendapatkan listrik selama berhari-hari. Kemudian tahun ini, Badai Babet menjebol pertahanan sungai di Brechin, Angus, menyebabkan banjir di lebih dari 400 properti.
Studi ini menemukan bahwa Skotlandia telah mengalami curah hujan musim dingin yang lebih banyak dari yang diperkirakan untuk pertengahan abad ini. Dikatakan bahwa bulan Februari dan April telah menjadi lebih basah hingga 60 persen dalam 30 tahun terakhir, terutama di bagian barat, dibandingkan dengan tiga dekade sebelumnya.
Hal ini melebihi proyeksi perubahan pada tahun 2050 yang diperkirakan akan terjadi sekitar 45-55 persen lebih banyak hujan. Rivington mengatakan bahwa hal ini mengindikasikan bahwa Skotlandia sudah berada di tengah-tengah kerusakan iklim.
“Hal ini akan berdampak secara global, mempengaruhi perdagangan dan merusak stabilitas ekonomi dan pada saat yang sama mengurangi kemampuan kita untuk beradaptasi. Tidak pernah ada waktu yang lebih penting untuk memahami skala ancaman dan seberapa cepat kita perlu bertindak,” jelas Rivington.
Penelitian ini dilakukan oleh The James Hutton Institute atas nama pemerintah Skotlandia. Sekretaris Net Zero, Mairi McAllan, mengatakan bahwa penelitian ini menggarisbawahi bahwa perubahan iklim bukanlah ancaman yang masih jauh, melainkan ancaman yang sedang terjadi saat ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa selama 60 tahun ke depan Skotlandia akan mengalami cuaca kering yang lebih lama, terutama di bulan September. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan lebih banyak kekurangan air dan tekanan pada produktivitas lahan pertanian.
Ruth Taylor, manajer pertanian dan penggunaan lahan di WWF Skotlandia, mengatakan bahwa temuan penelitian ini tidak akan mengejutkan bagi para petani. Pasalnya, selama beberapa tahun terakhir, para petani telah berjuang melawan periode panas yang ekstrim, kekeringan, dan banjir untuk menumbuhkan makanan yang kita semua andalkan.
"Analisis ini sangat berharga untuk menjadi masukan bagi rancangan undang-undang pertanian yang saat ini sedang dibahas di Parlemen Skotlandia,” jelas dia.