Peneliti Sarankan Penguatan 3 Aspek Pendidikan Keagamaan Moderasi di NU dan Muhammadiyah
Pesantren NU dan Muhammadiyah adalah jangkar NKRI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Penguatan moderasi pendidikan keagamaan, khususnya di pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sebagai strategi budaya untuk menjaga keutuhan NKRI dan kerukunan intra dan antarumat beragama.
Hal itu disampaikan Direktur MKPK/ MKU Universitas Islam Asyafiiyah (UIA) Jakarta, Abdul Hadi, sebagai kesimpulan dalam sidang doktoralnya di Program Pasca S3 Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Jakarta (UIJ), Kamis (28/12/2023) lalu.
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul “Model Pendidikan Keagamaan Moderasi Berbasis Organisasi Masyarakat Islam Indonesia” di hadapan promotor Prof Marhamah dan Co promotor Prof Suetarjo Admowidjoyo.
Sidang dipimpin Rektor UIJ Prof Raihan, sekretaris Prof Dede Rosyada, penguji eksternal Prof Rusmin Tumanggor, dan Dr KH Hamdan Rosyi. Abdul Hadi dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan diminta agar segera diterbitkan.
Abdul Hadi melanjutkan, moderasi beragama di kedua ormas jangkar NKRI itu dapat menjaga pemahaman agama agar tidak tergerus dalam ektremisme dan fundamintalisme.
Adul Hadi mengungkapkan, Muhammadiyah dan NU sebagai dua sayap bangsa dengan ideologi moderat (wasathiyah) diakui sebagai benteng Islam khas Indonesia yang kerap kali diberi julukan “moslem with smiling face”, belakangan ini mulai terusik dengan fenomena hijrahnya sejumlah angotanya menuju ormas lain yang dikalim lebih syar’i.
“Fenomena ini ditambah pula dengan adanya fakta maraknya lembaga pendidikan keagamaan Islam baru yang tidak kompromi dengan tradisi Indonesia,” ujar dia.
Menurut Abdul Hadi, ajaran “Aswaja” yang selama ini menjadi acuan utama mengenai moderasi di pesantren NU dan konsep “Pemurnian dan Tajdid” di Pesantren MBS Muhammdiyah, dianggap belum memadai untuk mencegah timbulnya doktrin-doktrin agama yang mendorong pada kekerasan, dan klaim merasa paling benar.
Dia menyarankan tiga aspek agar kurikulum pendidikan keagamaan lebih fokus lagi. Pertama, pemahaman Integrative Sains dan Agama dalam memahami teks-teks Alquran dan hadits.
Baca juga: Alquran Abadikan Tingkah Laku Yahudi yang Bodoh tapi Berlagak Pintar
Artinya, dalam menelaah kedua sumber itu harus dipandang dari engle ilmu-ilmu yang terkait langsung dengan teks-teks tersebut, seperti bahasa Arab dan kaidah fiqih dan usul fiqih, ilmu Alquran, dan ilmu hadits.
Kedua, pemahaman kedua sumber tersebut ditinjau dari sudut sains dan realitas nyata kehidupan manusia. Kedua, penanaman sikap maslahah ammah, dengan cara mengedepan sifat mahabbah baik dengan intra agama maupun antarumat beragama.
Ketiga, penguatan tindakan husnul muamalah dengan mengedepankan hidup damai dan rukun bisa berkolaborasi dengan siapapun tanpa memandang latar belakang agama, suku, dan budaya.