Menyoroti Proses Demokrasi pada Era Presiden Jokowi
Ekonom Muhammadiyah soroti penguasa ekonomi di RI justru minoritas secara populasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAkARTA -- Sorotan serius terkait proses demokrasi pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi perbincangan menarik di masyarakat. Apalagi, perbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi, menunjukkan penurunan indeks kebebasan di Indonesia.
"Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Perlu refleksi serius terhadap hal tersebut," ujar pemerhati isu-isu global dan strategis, Prof Imron Cotan dalam Webinar Nasional Moya Institute di Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Selain itu, Imron menyoroti integritas pemilu dan regresi demokrasi yang disorot masyarakat luas. Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan mengancam legitimasi pemerintahan.
Belum lagi, artikel yang diterbitkan oleh The New York Times, The Guardian, dan The West Australian beberapa hari belakangan ini, menyoroti perkembangan demokrasi di Indonesia. Media luar khawatir dengan fenomena regresi demokrasi di Indonesia.
Pun dengan ulasan politik dinasti yang dinarasikan dibangun Presiden Jokowi untuk meloloskan putranya, yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dengan memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). "Pelolosan Gibran dalam kontestasi politik, dipandang banyak pihak mencederai semangat konstitusi," ucap Prof Imron.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas menyentil, bantuan sosial (bansos) yang sekarang dipolitisasi untuk tujuan politik pemenangan paslon yang didukung Presiden Jokowi. Sirojudin menilai, pengucuran bansos dilakukan karena Jokowi menyadari kepuasan terhadap kinerjanya tidak baik di beberapa aspek.
"Seperti rendahnya penciptaan lapangan kerja dan masih jauhnya penurunan angka kemiskinan, serta akses terhadap sektor kesehatan," kata Sirojudin.
Ekonom Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna menyebut, dalam bidang ekonomi, keadilan sulit tegak karena adanya sikap intoleransi ekonomi pemilik modal raksasa di RI, yang secara populasi jumlahnya minoritas terhadap populasi mayoritas yang secara ekonomi berjumlah minoritas. Mukhaer juga menyebut istilah dwifungsi oligarki, yaitu kawinnya politik dan bisnis.
"Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi akibat akumulasi modal di tangan segelintir orang yang justru minoritas secara populasi, harus sadar terhadap bahayanya eksplosi atau ledakan sosial jika ketidakadilan dan ketimpangan kekuatan ekonomi ini tidak terdistribusi dengan baik," kata Mukhaer.