Menakar Dampak Masuknya Houthi ke Daftar Organisasi Teroris AS

Langkah AS ini bisa memicu eskalasi lebih lanjut.

EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Pejuang Houthi mengendarai kendaraan yang membawa peti mati seorang rekannya yang terbunuh dalam serangan udara AS-Inggris baru-baru ini di situs Houthi, saat pemakaman di masjid Shaab di Sana.
Rep: Lintar Satria Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Presiden AS Joe Biden memasukkan kembali Houthi ke dalam daftar "Organisasi Teroris Global yang ditetapkan Khusus" (SDGT). Salah satu dari dua daftar organisasi teroris yang mantan presiden Donald Trump tetapkan ke organisasi tersebut.

Baca Juga


Penetapan SDGT fokus pada pendanaan individu atau kelompok. Dalam kasus ini AS membekukan aset Houthi di AS dan melarang warga AS memiliki hubungan finansial dengan organisasi tersebut.

Meski "meski pelanggaran mungkin dapat hukuman perdata dan pidana", SDGT lebih sempit cakupannya dari daftar kedua yang ditetapkan Trump pada Houthi yaitu "Organisasi Teroris Asing" atau FTO. Daftar FTO membuat siapa pun yang memberi dukungan organisasi yang terlarang dapat dijatuhi hukuman kejahatan serius.

"Penetapan SDGT ini paling minimal, membatasi akses pendanaan dari luar negeri, akses ke pasar internasional. Ini hal-hal yang tidak Houthi miliki dan tidak akan pernah miliki. Mereka tidak memiliki saham di Bursa Saham New York," kata mantan Wakil Kepala Misi AS di Yaman Nabel Khoury pada Aljazirah, Kamis (18/1/2024).

Namun, menurut Khoury, Houthi tampaknya tidak membedakan SDGT dan FTO. Kemungkinan kelompok yang didukung Iran itu melihat langkah AS pada Rabu (17/1/2024) kemarin sebagai penghinaan dan dapat memicu eskalasi lebih lanjut.

Beberapa jam setelah AS mengumumkan memasukan Houthi ke SDGT, kelompok itu mengatakan mereka menembakan "rudal maritim" ke kapal AS di Teluk Aden. Komando Pusat AS (CENTCOM) mengkonfirmasi kapal milik dan dioperasikan perusahaan AS, Genco Picardy ditembak, serangan ini mengakibatkan kerusakan tapi tidak ada korban jiwa atau luka.

"Apa yang dilakukan pemerintah benar-benar membingungkan, saya pikir tidak banyak yang dipertimbangkan dalam mengambil langkah ini, penetapan ini lebih pada penghinaan. Ini seperti sarang tangan tua di wajah, menampar seseorang dengan sarung tangan anda, anda menantangnya tapi tidak benar-benar menyakitinya," kata Khoury.

Peneliti Arab Center di Washington DC yang sebelumnya peneliti Yaman untuk Human Rights Watch, Afrah Nasser juga memperingatkan langkah AS hanya akan memacu Houthi. "Dan berkontribusi dalam meradikalisasi sebagian populasi dan memperkuat sistem perekrutan Houthi," katanya.

Pengamat dari lembaga think-tank International Crisis Group Brian Finucane mengatakan meski penetapan SDGT "lebih sempit" dari FTO. Pemerintah Biden menyadari "sanksi-sanksi ini dapat memperburuk keadaan bagi rakyat Yaman.

"Karena institusi finansial dan organisasi kemanusiaan menjadi sangat berhati-hati untuk terlibat dengan Houthi di Yaman," katanya. Terutama, Finucane, sampai peraturan penetapan ulang sudah jelas. Pada Rabu kemarin pemerintah Biden mengatakan mereka "mengambil langkah signifikan untuk memitigasi setiap dampak buruk dari penetapan ini yang mungkin terjadi pada rakyat Yaman."

Dalam pernyataannya pemerintah AS mengatakan keputusan ini akan berlaku dalam waktu 30 hari. Selama itu pemerintah akan berkonsultasi dengan organisasi kemanusiaan dan pemangku kepentingan lainnya.

Departemen Keuangan AS juga diperkirakan akan menerbitkan lisensi "yang mengesahkan transaksi-transaksi tertentu yang berkaitan dengan penyediaan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, serta pengiriman uang pribadi, telekomunikasi dan surat, serta operasi pelabuhan dan bandara yang menjadi tumpuan rakyat Yaman". Namun hal ini tidak mengurangi kekhawatiran penetapan ini akan berdampak negatif pada warga Yaman.

"Penetapan ini akan menambah ketidakpastian dan ancaman bagi warga Yaman yang masih terjebak dalam salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia," kata direktur perdamaian dan keamanan di Oxfam Amerika, Scott Paul dalam pernyataan tertulisnya.

Menurut Paul, Pemerintahan Biden sedang bermain api, dan kami menyerukan kepada mereka untuk segera menghindari penetapan ini dan memprioritaskan nyawa warga Yaman saat ini," tambahnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler