Emas dalam Sejarah Islam, dari Standar Nilai Hingga Jadi Mata Uang

Dinar emas Islam pertama baru dicetak setengah abad setelah wafatnya Nabi SAW.

Dok Isitimewa
Koin emas era umayyah
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Emas memiliki peran penting dalam sejarah Islam, baik secara ekonomi maupun budaya. Dalam Islam, emas dianggap sebagai salah satu bentuk kekayaan yang legal dan dihargai.

Mata uang emas telah digunakan dalam sejarah Islam sebagai standar nilai dan alat tukar. Salah satu contoh yang terkenal adalah dinar emas dan dirham perak.

Sebelumnya, bangsa Arab hanya berdagang dengan menerapkan sistem barter dan tidak pernah memproduksi mata uang sendiri. Bangsa Arab lalu mengadopsi dinar dan dirham sebagai sistem mata uang dan hal ini berlangsung hingga zaman Nabi Muhammad SAW.

Dalam proses penimbangan bobot dinar dan dirham tersebut, Nabi Muhammad SAW dibantu oleh seorang sahabatnya, yaitu Arqam bin Abi Arqam yang merupakan seorang ahli tempa emas dan perak pada masa itu.

Namun, pada awal abad ketujuh masa Nabi Muhammad koin belum ada. Sementara, koin emas dari kekaisaran Bizantium dan koin perak dari Persia saat itu sudah beredar.

Orang-orang Arab kemudian menyebar ke Timur Dekat atau Kawasan Levant pada pertengahan abad ketujuh. Mereka menjalin hubungan erat dengan masyarakat yang telah mengeluarkan koin selama berabad-abad tersebut.

Dinar emas Islam pertama baru dicetak sekitar setengah abad setelah wafatnya Nabi SAW oleh khalifah Bani Umayyah kelima, Khalifah Abdul Malik bin Marwan (68 M-705 M). Khalifah Abdul Malik mulai mencetak koin emas pada 697 M. Koin emas yang dicetak tersebut berbobot 4,4 gram dengan mencantumkan tulisan dinar.

Baca Juga


Dua tahun berikutnya...

Dua tahun berikutnya, pemerintahan Khalifah Abdul Malik kembali mencetak dinar yang bobotnya berubah menjadi 4,25 gram emas karena mengikuti standar yang diletakkan Khalifah Umar bin Khattab.

Koin emas pada zaman itu dicetak secara khusus di Damaskus, ibu kota kekhalifahan Umayyah. Khalifah Abdul Malik menggantikan sosok kaisar Bizantium di dalam koin emas yang selama ini telah digunakan.

Lambang salib juga dihilangkan, dan untuk pertama kalinya kata-kata dari Alquran dimunculkan di dalam koin. Setiap koin yang dicetak pada saat itu bertuliskan kalimat tauhid.

Sejak saat itu, dilakukan penghentian penggunaan gambar wujud manusia dan binatang dari mata uang peradaban Islam itu. Sebagai gantinya, digunakan huruf-huruf.

Dinar emas lazimnya berbentuk bundar. Selain itu, tulisan yang tercetak pada dua sisi koin itu memiliki tata letak yang melingkar. Pada satu sisi mata koin tercantum kalimat tahlil dan tahmid.

Sedangkan di sisi lainnya...

Sedangkan di sisi lainnya, tertera nama penguasa (amir) dan tanggal dicetak. Selain itu, terdapat suatu kelaziman untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah SAW dan ayat-ayat Alquran dalam koin dinar itu.

Koin emas dan perak tetap menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya Kekhalifahan. Dengan kekuatan dinar dan dirham yang tahan akan hantaman roda ekonomi, para ulama menjadikan dinar dan dirham sebagai tolok ukur dalam menentukan nisab zakat.

Misalnya, Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasanya dalam zakat emas itu adalah 20 mitsqal (dinar).”

Dinar dan dirham memang dikenal sebagai alat perdagangan resmi yang paling stabil sejak berabad-abad lamanya. Namun, pemanfaatan dinar dan dirham sebagai mata uang mulai ditinggalkan dan hanya beberapa negara di kawasan Timur Tengah yang masih memanfaatkan dinar dan dirham sebagai mata uang.

Selain memiliki peran penting dalam ekonomi, emas juga memiliki nilai simbolis dalam budaya Islam. Perhiasan emas sering digunakan sebagai bagian dari tradisi pernikahan dan sebagai bentuk investasi jangka panjang. Namun, penggunaan emas dalam konteks ekonomi modern dapat bervariasi sesuai dengan interpretasi dan implementasi hukum Islam oleh berbagai komunitas.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler