Irlandia: Situasi Gaza tak Bisa Diselesaikan Hanya dengan Cara Militer

Irlandia dan Jerman memiliki perspektif yang berbeda mengenai konflik di Gaza.

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Asap mengepul menyusul serangan udara Israel di selatan Kota Gaza, (15/1/2024).
Rep: Kamran Dikarma Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Menteri Luar Negeri (Menlu) Irlandia Michael Martin mengkritik tajam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena berusaha memperpanjang perang di Jalur Gaza. Dia menekankan, pada akhirnya perdamaian langgeng hanya dapat dicapai dengan menerapkan solusi dua negara Israel-Palestina. 

Baca Juga


“Dalam pandangan saya, sangat tidak dapat diterima jika perdana menteri Israel mengatakan bahwa perang ini bisa berlangsung hingga 2025. Terlalu banyak nyawa tak berdosa yang hilang, terlalu banyak anak-anak yang kehilangan nyawa mereka, dan Anda tidak dapat menyelesaikan situasi seperti ini hanya dengan cara militer,” kata Martin dalam konferensi pers bersama Menlu Jerman, Annalena Baerbock, Kamis (18/1/2024), dilaporkan Anadolu Agency.

Martin mengakui, Irlandia dan Jerman memiliki perspektif yang berbeda mengenai konflik yang sedang berlangsung di Gaza. Namun dia menggarisbawahi bahwa kedua negara memiliki tujuan yang sama dalam hal isu kemanusiaan. “Kami berdua sangat jelas, pertama-tama, mengenai perlunya akses tanpa hambatan terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan atas dasar kemanusiaan,” ujar Martin.

Dia juga menekankan, perdamaian abadi hanya dapat dicapai melalui solusi dua negara Israel-Palestina. Menurut Martin, Irlandia serta Jerman juga menyetujui hal tersebut. “Dalam hal jalur perdamaian, jalur politik yang pada akhirnya akan mengarah pada solusi dua negara, kami sangat sepakat mengenai hal itu,” ucapnya.

“Pada akhirnya keamanan Israel, dalam pandangan saya, bergantung pada munculnya Negara Palestina yang bisa hidup harmonis, berdampingan dengan Israel. Itu adalah jaminan keamanan tertinggi,” tambah Martin.

Amerika Serikat (AS) dan Israel terlibat perselisihan tentang skenario pasca berakhirnya perang di Jalur Gaza. Washington berpendapat, tidak ada cara untuk menyelesaikan masalah Israel tanpa pembentukan negara Palestina. Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu masih menentang gagasan tersebut.

Gagasan tentang pembentukan negara Palestina sebagai cara untuk menyelesaikan masalah keamanan Israel kembali disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matt Miller dalam pengarahan pers pada Kamis lalu. Dia mengatakan, Israel memiliki peluang karena negara-negara di kawasan siap memberikan jaminan kepada Israel.

“Tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka panjang mereka (Israel-red) untuk memberikan keamanan abadi, serta tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka pendek dalam membangun kembali Gaza dan membangun pemerintahan di Gaza serta memberikan keamanan bagi Gaza tanpa pembentukan negara Palestina,” kata Miller, dikutip laman Al Arabiya.

Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah meminta Israel mengendurkan serangannya ke Gaza. Pemerintahan Biden pun menyampaikan bahwa negara Palestina harus menjadi bagian skenario pascaperang.

Sementara itu dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional, Benjamin Netanyahu berjanji akan melanjutkan perang di Gaza hingga Hamas dikalahkan. Netanyahu pun menolak gagasan negara Palestina.

Dia mengklaim telah menyampaikan penolakannya kepada para pejabat AS. “Dalam pengaturan apa pun di masa depan, Israel memerlukan kontrol keamanan atas seluruh wilayah, di sebelah barat Yordania. Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan (untuk Palestina-red). Apa yang bisa Anda lakukan?” ucap Netanyahu.

Saat ini perang Israel-Hamas masih berlangsung di Gaza. Lebih dari 24.700 warga Gaza sudah terbunuh sejak Israel meluncurkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar dari korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka sudah melampaui 61.500 orang.

Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan dan rumah sakit, rusak atau hancur. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler