Lalu Lintas Kapal Dagang Via Terusan Suez Anjlok Hingga 40 Persen
Kapal-kapal telah mengalihkan rute pelayaran dari Laut Merah ke Tanjung Harapan.
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Volume lalu lintas kapal dagang dan kargo via Terusan Suez telah turun lebih dari 40 persen dalam dua bulan terakhir akibat intensnya serangan kelompok Houthi Yaman di Laut Merah. Penurunan tajam itu meningkatkan kekhawatiran terhadap perdagangan global.
“Kami sangat prihatin bahwa serangan terhadap pelayaran Laut Merah menambah ketegangan pada perdagangan global, memperburuk gangguan perdagangan (yang sudah ada) karena geopolitik dan perubahan iklim,” kata Ketua Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) Jan Hoffman kepada awak media, Kamis (25/1/2024), dikutip laman Al Arabiya.
Menurut UNCTAD, kapal-kapal telah mengalihkan rute pelayaran dari Laut Merah ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Hal itu menyebabkan penurunan transit melalui Terusan Suez sebesar 42 persen dalam dua bulan terakhir. Terusan Suez di Mesir diketahui menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah.
UNCTAD mengungkapkan, jumlah transit kapal kontainer mingguan melalui Terusan Suez telah turun sebesar 67 persen dibandingkan tahun lalu. Hal itu karena lebih dari 20 persen perdagangan kontainer dunia melewati terusan tersebut. “Mengingat kapal kontainer berukuran besar yang beralih dari Terusan Suez, penurunan daya dukung kontainer bahkan lebih besar lagi,” kata Hoffman.
Secara keseluruhan, antara 12 dan 15 persen perdagangan dunia atau setara 20 ribu kapal per tahun, melintasi Laut Merah karena menghubungkan benua Asia dengan Eropa.
Sektor Industri Mulai Terdampak
Krisis Laut Merah memberikan gelombang kejutan pada rantai pasokan manufaktur Inggris. Indeks Output Manufaktur Inggris, yang berfungsi sebagai indikator produksi pabrik, telah anjlok ke level terendah dalam tiga bulan di 44,9. Karena angkanya di bawah 50, hal itu menjadi sebuah tanda jelas adanya kontraksi ekonomi.
“Sekitar 80 persen perusahaan yang melaporkan pengiriman lebih lambat secara eksplisit mengaitkan penundaan tersebut dengan kejadian di Laut Merah. Di mana serangan pemberontak Houthi telah menyebabkan semakin banyak perusahaan pelayaran yang mengangkut barang dari Asia ke Eropa melalui Tanjung Harapan dibandingkan melalui Terusan Suez,” kata S&P Global lewat data terbarunya, dilaporkan Anadolu Agency, Kamis (25/1/2024).
“Perjalanan yang diperpanjang ini biasanya memperpanjang rute pengiriman setidaknya 10 hari. Penundaan paling banyak dilaporkan terjadi pada sektor tekstil dan manufaktur kendaraan,” tambah S&P Global.
Survei S&P Global terhadap manajer pembelian di Inggris mengungkapkan bahwa rantai pasokan manufaktur sedang bergulat dengan waktu tunggu yang lama untuk angkutan peti kemas, khususnya di tengah krisis Laut Merah. Krisis ini telah mendorong kapal-kapal untuk mengubah rute dari Terusan Suez, yang menyebabkan waktu pelayaran internasional menjadi lebih lama.
Akibatnya perusahaan-perusahaan mengalami keterlambatan dalam menerima pasokan penting. Kondisi itu memaksa mereka menghabiskan persediaan mereka secara signifikan.
Waktu pengiriman yang diperpanjang juga berkontribusi terhadap peningkatan biaya di sektor manufaktur. S&P Global memperkirakan bahwa inflasi Inggris kemungkinan akan tetap “sangat tinggi” pada kisaran tiga hingga empat persen dalam waktu dekat.
Sektor bahan kimia Jerman, yang merupakan terbesar di Eropa, juga mulai merasakan dampak dari tertundanya pengiriman logistik via Laut Merah. Impor penting dari Asia ke Eropa seperti suku cadang mobil dan peralatan teknik hingga bahan kimia, kini membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di negara tujuan.
Hal itu karena kapal-kapal mulai mencari rute alternatif dan menghindari Laut Merah serta Terusan Suez. Terkait Jerman, meskipun sektor industri di negara tersebut sudah terbiasa menghadapi gangguan pasokan setelah pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina, dampak dari berkurangnya lalu lintas melalui Laut Merah dan Terusan Suez mulai terlihat.
Pabrik Tesla di Berlin pun menjadi korban paling menonjol sejauh ini. Sektor bahan kimia Jerman, yang merupakan industri terbesar ketiga setelah mobil dan teknik dengan penjualan tahunan sekitar 260 miliar euro, bergantung pada Asia untuk sekitar sepertiga impornya dari luar Eropa.
“Departemen pengadaan saya saat ini bekerja tiga kali lebih keras untuk mendapatkan sesuatu,” kata Martina Nighswonger, CEO dan pemilik Gechem GmbH & Co KG, yang mencampur dan membotolkan bahan kimia untuk klien industri besar, dilaporkan Reuters, Senin (22/1/2024) lalu.
Akibat penundaan tersebut, Gechem, yang menghasilkan penjualan tahunan sebesar dua digit jutaan euro, telah menurunkan produksi mesin pencuci piring dan tablet toiletnya. Hal tersebut karena mereka tidak dapat memperoleh cukup trinatrium sitrat serta asam sulfamat dan asam sitrat.
Menurut Nighswonger, saat ini perusahaan yang dipimpinnya sedang meninjau sistem tiga sifnya. Dia menambahkan bahwa dampak buruk dari keterbatasan transportasi dapat tetap menjadi masalah setidaknya pada paruh pertama tahun 2024.
Nighswonger mengatakan, situasi tersebut menyebabkan diskusi terbuka dengan pelanggan. “Jika kita mendapatkan tiga muatan truk, bukan enam, setiap pelanggan hanya mendapat sebagian dari jumlah pesanan mereka, tapi setidaknya semua orang mendapat sesuatu,” katanya.
Produsen bahan kimia khusus yang lebih besar, Evonik, juga mengatakan pihaknya terkena dampak perubahan rute kapal-kapal yang biasanya melintasi Laut Merah. Evonik mengungkapkan bahwa beberapa kapal telah mengubah arah sebanyak tiga kali dalam beberapa hari terakhir.
Evonik mengatakan pihaknya mencoba memitigasi dampak tersebut dengan melakukan pemesanan lebih awal dan beralih ke angkutan udara. Pengiriman via udara dianggap sebagai pengganti sementara karena beberapa bahan kimia tidak diperbolehkan untuk diangkut menggunakan pesawat.
Badan industri Jerman, VCI, telah lama menyoroti ketergantungan pada impor dari Asia. VCI mengatakan bahwa meskipun penghentian produksi harus dibatasi hanya pada kasus-kasus tertentu, penundaan impor melalui Laut Merah merupakan beban tambahan bagi industri yang sudah melemah. “Dampaknya terutama terlihat pada perusahaan-perusahaan kimia berukuran menengah dan khusus,” kata Kepala Ekonom VCI Henrik Meincke, seraya menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut seringkali mendapatkan bahan mentah dalam jumlah besar dari Asia.
Krisis di Laut Merah terjadi ketika perekonomian Jerman berada di bawah tekanan akibat resesi, serta tingginya biaya tenaga kerja dan energi. Menurut S&P Global, sektor bahan kimia di Eropa, bersama dengan mobil dan ritel, dipandang sebagai sektor yang paling rentan.
Sejak 19 November 2023, kelompok Houthi telah meluncurkan puluhan serangan rudal dan drone ke kapal-kapal komersial yang melintasi Laut Merah. Houthi mengklaim mereka hanya membidik kapal-kapal milik Israel atau menuju pelabuhan Israel.
Serangan terhadap kapal-kapal tersebut merupakan bentuk dukungan Houthi terhadap perjuangan dan perlawanan Palestina. Sejak Houthi aktif menyerang kapal-kapal di Laut Merah, sejumlah perusahaan kargo memutuskan untuk menghindari wilayah perairan tersebut.
Perubahan jalur laut dengan menghindari pelayaran melintasi Laut Merah dapat menyebabkan penundaan pengiriman kargo dan memicu kenaikan ongkos pengiriman. Hal itu karena Laut Merah merupakan jalur terpendek antara Asia dan Eropa melalui Terusan Suez. Laut Merah adalah salah satu jalur laut yang paling sering digunakan di dunia untuk pengiriman minyak dan bahan bakar.