DPR: Pemberian Subsidi EBT untuk Tekan Impor Bahan Bakar Fosil
Negara juga perlu menyusun peta pengembangan EBT.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno menilai perlu ada pemberian subsidi untuk energi baru dan terbarukan (EBT) guna menekan impor bahan bakar fosil. Eddy mengatakan subsidi yang selama ini diberikan kepada bahan bakar berbasis fosil seperti Pertalite, Solar, dan LPG 3 kilogram juga didorong untuk disalurkan ke energi baru dan terbarukan.
"Daripada mensubsidi yang sekarang untuk energi fosil, lebih baik kita subsidi energi terbarukan. Karena kita bisa mengurangi dampak daripada impor, defisit kita kan bisa dihemat," kata Eddy saat ditemui usai menghadiri sesi diskusi bertajuk "Capital Connect: Indonesia Elections & Economics" di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Eddy menilai tantangan yang dihadapi dalam proyek EBT adalah tarif yang tinggi disebabkan nilai investasi yang besar. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang menunjukkan keberpihakan negara terhadap proyek-proyek EBT.
"Memang harus ada mekanisme di mana kita harus menunjukkan keberpihakan supaya proyek-proyek bisa jalan karena kendalanya selalu tarif kan, investasi awalnya besar," ujar Eddy.
Mengenai pembiayaan dalam proses transisi energi, Eddy menerangkan skema pendanaan campuran (blended financing) yakni dengan melibatkan lembaga pembiayaan multilateral seperti World Bank, Asian Development Bank, dan International Finance Coporation. Kemudian juga melibatkan lembaga pembiayaan yang berfokus di bidang transisi energi.
"Ada sekarang lembaga-lembaga pembiayaan yang memang fokus untuk pembayaran energi terbarukan dan itu banyak, termasuk filantropi. Saya kira blended financing itu yang harus kita giatkan," tutur Eddy.
Kemudian, negara juga perlu menyusun peta pengembangan EBT Indonesia untuk ditawarkan kepada lembaga pembiayaan multilateral itu. Dengan demikian, lembaga pembiayaan multilateral dapat mengkaji pengembangan EBT di Indonesia secara menyeluruh.
"Mereka (lembaga pembiayaan multilateral) tidak akan punya waktu, tidak akan punya sumber daya untuk fokus pada satu proyek saja, terlalu mahal bagi mereka. Jadi harus dibuat peta pengembangan EBT di Indonesia, itu yang ditawarkan petanya itu," tutur Eddy.