Soal Kasus Korupsi di Kemenaker, KPK: Tidak Ada Kaitan Politik
KPK mengeklaim penanganan kasus korupsi di Kemenaker tak ada kaitan dengan politik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah isu pemeriksaan Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning sebagai bentuk kriminalisasi hukum. KPK menjamin pemeriksaan Ribka tak ada hubungannya dengan situasi politik.
Ribka baru saja diperiksa KPK pada Kamis (1/2/2024) mengenai kasus korupsi sistem proteksi TKI di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang terjadi pada 2012.
"Kami ingin tegaskan tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik apalagi kriminalisasi," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri dikutip pada Jumat (2/2/2024).
Ali menyampaikan pemeriksaan tersebut hanya bagian dari proses penegakan hukum. "Tidak ada kriminalisasi, ini murni proses penegakan hukum," lanjut Ali.
Ali menyatakan pemanggilan Ribka penting agar KPK memperoleh informasi mengenai adanya perantara. Perantara ini dalam rangka rekomendasi vendor dan kontraktor pengadaan proteksi TKI di Kemenaker.
"Ada dugaan pihak tertentu dan menjadi perantara untuk mendapatkan rekomendasikan vendor maupun kontraktor, kemudian mengerjakan proyek pengadaan proteksi TKI di Kemnaker yang dugaannya kemudian bermasalah dengan kerugian negara," ujar Ali.
Ali mengakui perkara itu terjadi pada 2012. Hanya saja, Ali menyebut KPK baru mendapat laporan sekitar tiga tahun lalu.
"Betul waktunya 12 tahun, tahun 2012, tetapi masuk ke KPK nya itu 2-3 tahun yang lalu sehingga KPK selesaikan laporan masyarakat itu. Jadi bukan kasusnya sudah lama, kemudian KPK melakukan buka kembali, bukan," ujar Ali.
Sebelumnya, KPK sudah menahan tiga tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemenaker 2011-2015 sekaligus politikus PKB Reyna Usman, Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemenaker sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) I Nyoman Darmanta, dan Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM) Karunia.
Kasus ini berawal pada 2012 saat Kemenaker melaksanakan pengadaan sistem proteksi TKI. Tujuannya program ini dalam rangka melakukan pengolahan data proteksi TKI.
Reyna yang saat itu menjabat Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemnaker mengajukan anggaran sebesar Rp 20 miliar. Sedangkan Nyoman Darmanta ditunjuk menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK).
Reyna, Nyoman dan Karunia bertemu guna menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPL) untuk proyek ini pada Maret 2012. Pertemuan tersebut menyepakati proyek ini bakal digarap oleh perusahaan Karunia.
KPK menduga sejak awal lelang proyek ini telah dikondisikan guna memenangkan perusahaan Karunia. Karunia diduga menyiapkan dua perusahaan guna berpura-pura bersaing dalam lelang proyek ini.
Akibat adanya kongkalikong tersebut, pelaksanaan proyek menjadi tidak maksimal. Sehingga terdapat item-item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang disebutkan dalam surat perintah kerja.
Walau pekerjaannya tidak rampung, Nyoman selaku PPK bersikukuh memerintahkan pembayaran untuk Karunia dilunasi 100 persen. Padahal realitanya belum dilakukan instalasi pemasangan hardware dan software sama sekali untuk yang menjadi basis penempatan TKI di Malaysia dan Arab Saudi.
Kasus ini diduga menyebabkan kerugian negara Rp 17,6 miliar berdasarkan penghitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penmberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.