Alquran Ungkap Posisi Vital Matahari dalam Sistem Tata Surya, Sains Buktikan Polanya
Matahari berada dalam orbitnya yang konsisten
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Konsep peredaran matahari sering terkait dengan pandangan dalam agama Islam, di mana alam semesta dan fenomena alam menjadi tanda-tanda dari keberadaan dan kekuasaan Allah SWT.
Hal ini sebagaimana temaktub dalam surat Yasin ayat 38, di mana Allah SWT berfirman:
وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ
Artinya: “(Suatu tanda juga atas kekuasaan Allah bagi mereka adalah) matahari yang berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.” (QS Surat Yasin [36]: 38).
Berdasarkan Tafsir Tahlili Kementerian Agama, dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bukti lain tentang kekuasaan-Nya, yaitu peredaran matahari, yang bergerak pada garis edarnya yang tertentu dengan tertib menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT perlancar. Sedikit pun ia tidak menyimpang dari garis yang telah ditentukan itu.
Andaikata matahari itu menyimpang seujung rambut saja, niscaya akan terjadi tabrakan dengan benda-benda langit lainnya. Umat manusia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi akibat peristiwa itu.
Dilihat sepintas lalu, orang akan menerima bahwa hanya matahari yang bergerak, sedang bumi tetap pada tempatnya. Di pagi hari, matahari terlihat di sebelah timur, sedang pada sore hari ia berada di barat.
Akan tetapi, ilmu falak mengatakan bahwa matahari berjalan sambil berputar pada sumbunya, sedang bumi berada di depannya, juga berjalan sambil berputar pada sumbunya, dan beredar mengelilingi matahari. Ternyata apa yang ditetapkan ilmu falak sejalan dengan apa yang telah diterangkan dalam ayat tersebut.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semakin tinggi kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia, semakin terbuka pula kebenaran-kebenaran yang telah dikemukakan Alquran sejak empat belas abad yang lalu. Sungguh, Allah Mahabesar kekuasaan-Nya.
Ulama ahli tafsir Indonesia, Prof M Quraish Shihab menjelaskan bahwa pada ayat 38 tersebut dapat dipahami dengan beberapa makna.
Pertama, dapat berarti matahari bergerak/beredar menuju ke tempat/waktu perhentiannya. Menurut dia, yang dimaksud dengan tempat/waktu perhentian di sini adalah peredarannya setiap hari di garis edarnya dalam keadaan sedikit pun tidak menyimpang hingga matahari terbenam.
Kedua, bergerak secara terus menerus sampai waktu yang ditetapkan Allah SWT untuk berhenti bergerak, yaitu ketika dunia kiamat.
Sementara, seorang ulama sufi abad ke-5, Imam al-Qusyairi menggunakan pendekatan tasawuf dalam menafsirkan ayat 38 tersebut.
Dia menjelaskan bahwa peredaran matahari adalah buah dari keteraturan yang tidak akan melenceng dari sunnatullah.
Setiap harinya, bagi matahari merupakan timur baru dan juga barat baru (wa kula yawmin laha masyriq jadid wa laha maghrib jadid). Artinya, setiap hari posisi matahari tidak sama.
Terkait penjelasan kalimat Wa al-syamsu tajri limustaqarrin laha (Dan matahari yang berjalan di tempat peredarannya), Ibnu Jarir al-Thabari mengungkapkan sebuah riwayat dari Abu Kuraib, ia menuturkan:
“Tatkala aku sedang duduk bersama Rasulullah SAW dalam masjid, matahari terbenam, kemudian Rasul bertanya, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau kemana matahari pergi?”
Lalu aku menjawab, Allah SWT dan Rasul SAW lebih tahu. Rasul kemudian memberikan penjelasan, “Matahari pergi dan bersujud di hadapan Tuhannya, kemudian ia meminta izin untuk kembali, Allah SWT pun mengizinkan, seolah-olah Allah SWT berfirman kepada matahari,
“kembalilah dari tempat engkau berangkat. Kemudian terbitlah matahari dari tempat terbenamnya. Inilah yang dimaksud dengan garis edar.”