DKPP tak Punya Alasan tak Pecat KPU Jika Aduan Irman Dikabulkan
Kuasa hukum Irman Gusman mendesak DKPP untuk memberhentikan Ketua KPU.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kuasa hukum Irman Gusman, Arifuddin Heru, meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan sanksi pemberhentian tetap kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan ketua divisi hukum KPU Afifuddin serta peringatan keras kepada anggota KPU lainnya. Artinya jika pengaduan dikabulkan DKPP maka mereka akan diberhentikan dengan tidak hormat.
Hal ini disampaikan Arifuddin menyikapi lanjutan sidang DKPP dalam perkara gugatan pelanggaran kode etik berat berupa pelanggaran sumpah dan janji jabatan yang dilakukan KPU, yang diadukan Irman Gusman. Mantan ketua DPD RI ini mengadukan KPU karena mencoret namanya dari DCT dan menolak menjalankan putusan PTUN Jakarta, yang memutuskan memasukkan kembali Irman ke Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024.
Dengan perjalanan kasus yang sudah dilakukan KPU, menurut Arifuddin, perkara aduan Irman Gusman ini bisa membuat KPU dipecat. Hal ini akan terjadi kalau DKPP memang memutuskan ada pelanggaran sumpah janji dan prinsip kode etik lainnya yang dilakukan KPU.
Ariffudin berharap DKPP mempunyai keberanian untuk menjaga perjalanan demokrasi di Indonesia. “Kalau mereka melihat kepentingan demokrasi di Indonesia, maka seharusnya mereka berani memutuskan pemberhentian, karena dalil kita sudah terang benderang,” ungkapnya.
KPU yang ada saat ini, kata Arifuddin, sudah tidak patut dipertahankan. Kalau penyelenggara pemilu sudah tidak menjaga sumpah jabatannya dan tidak patuh pada etik, demokrasi tidak mungkin bisa ditegakkan.
Mengenai kelanjutan pemilu jika KPU dipecat, menurut Arifuddin, sesuai ketentuan UU 7 tahun 2017, sementara proses penggantian antar waktu berlangsung, tahapan pemilu akan dilanjutkan oleh sekjen KPU bersama jajarannya.
“Tentu dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan sesuai dengan proses administrasi yang baik,” paparnya.
Arifuddin menjelaskan, pihaknya sudah memenuhi permintaan DKPP untuk menyerahkan kesimpulan ke mereka. Dalam kesimpulan itu, jelas dia, pihak Irman Gusman menegaskan bahwa dari proses persidangan disimpulkan ada fakta Ketua KPU maupun anggota KPU teradu telah melakukan pelanggaran sumpah jabatan dan prinsip kode etik berat lainnya seperti tidak profesional, tidak akuntabel dan lain-lain.
Selain itu, para teradu ini juga tidak ada itikad baik untuk menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Padahal dalam UU Pemilu diatur KPU wajib melaksanakan putusan pengadilan.
“Tapi mereka menolak dan memilih menafsirkan. Itu bukan kewenangan mereka dan tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan kita selama ini,” papar Arifuddin.
Dari hal itu, lanjut Arifuddin, jika tidak diberhentikan, maka legitimasi hasil pemilu akan tergerus oleh pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan teradu dari waktu ke waktu. Yang teranyar dan terbaru yaitu sanksi peringatan keras terakhir dalam kasus pencalonan Gibran yang diputus DKPP hari ini.
Seharusnya sanksi kasus ini juga pemberhentian sebab telah dinilai tidak cermat sementara kecermatan ini merupakan salah satu unsur pemenuhan sumpah jabatan.
Sebelumnya, Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD, juga menyebut, Ketua KPU Hasyim Asy'ari bisa dipecat jika sekali lagi melakukan pelanggaran.
KPU, menurut Mahfud, sudah banyak sekali salahnya. Ia menyebut Hasyim sudah dua kali mendapatkan peringatan keras. Jika membuat kesalahan sekali lagi, maka Hasyim harus diberhentikan.
"Banyak sekali. Kalau kita beritahu hanya diperbaiki gitu, lalu tidak ada perbaikan ke berikutnya, ini kesalahan yang berikutnya dan saudara Hasyim Asy'ari itu salahnya sudah dua kali peringatan keras. Kesalahan atau pelanggaran berat yang dilakukan Hasyim Asy'ari kalau terjadi sekali lagi dia harus diberhentikan dari KPU. Oleh sebab itu KPU harus hati-hati dari sekarang," kata Mahfud.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, mengatakan, DKPP harus merekomendasikan sanksi pelanggaran kode etik untuk KPU sebab menolak menjalankan putusan PTUN Jakarta.
“Kalau KPU secara sepihak menolak putusan (pengadilan) dengan alasan personal, ya DKPP harus memberikan rekomendasi sanksi kepada KPU,” kata Dedi.
Dedi mengaku prihatin dengan KPU yang tidak mengerti bagaimana menjalankan detail undang-undang dengan pasti, sehingga tidak memberikan keadilan bagi semua pihak.
Dalam kasus Irman Gusman, menurut Dedi, keinginan undang-undang (lewat putusan PTUN) Irman punya hak untuk mengikuti kontestasi Pemilu DPD RI 2024. “Kalau kemudian KPU tidak mengikuti keinginan UU yang didukung lewat putusan PTUN maka jelas KPU telah bersikap secara personal (subjektif). Ini yang memprihatinkan,” kata Dedi.
Dalam kasus ini, lanjut Dedi, Irman Gusman layak dibela. Karena seharusnya KPU tidak bersikap personal, tetapi harus menjalankan undang-undang. “KPU cukup memprihatinkan karena tidak cakap dalam memahami undang-undang maupun bekerja dalam etika keadilan,” paparnya.