UNCTAD: Rekonstruksi Gaza Butuh Biaya Rp 300 Triliun

Kehancuran akibat perang kali ini empat kali lebih besar dibandingkan perang 2014.

AP Photo/Mohammed Hajjar
Warga Palestinia berjalan di atas puing bangunan akibat serangan Israel ke Gaza City, Sabtu (10/2/2024).
Red: Ferry kisihandi

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Gaza membutuhkan Marshall Plan atau program ekonomi berskala besar setelah perang usai. Badan perdagangan dan pembangunan PBB, UNCTAD menyatakan kehancuran di Gaza akibat serangan militer Israel sangat besar. 

Baca Juga


Direktur UNCTAD Richard Kozul-Wright di sela sebuah pertemuan PBB di Jenewa, Swiss, Kamis (15/2/2024) menyatakan, kehancuran akibat serangan Israel kali ini empat kali lebih besar dibandingkan tujuh pekan perang yang berlangsung pada 2014. 

UNCTAD memperkirakan dibutuhkan 20 miliar dolar AS atau setara Rp 300 triliun dengan kurs Rp 15 ribu per dolar AS. ‘’Kita bicara soal biaya rekonstruksi sekitar 20 miliar dolar AS jika perang berhenti sekarang juga,’’ kata Kozul-Wright. 

Munculnya estimasi biaya rekonstruksi sebesar itu, ungkap Kozul-Wright, didasarkan pada citra satelit dan informasi lainnya yang menggambarkan betapa besarnya kerusakan di Gaza. Perkiraan yang lebih presisi bisa dibuat dengan mengerahkan sejumlah peneliti masuk ke Gaza dan menilai kehancuran yang terjadi di sana. 

Menurut dia, pelaksanaan rekonstruksi di Gaza membutuhkan Marshall Plan baru. Ini merujuk pada rencana yang pernah dibuat AS untuk pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia II. Dengan demikian membutuhkan sumber daya yang besar. 

Dalam laporannya bulan lalu, UNCTAD mengungkapkan, butuh bertahun-tahun untuk memulihkan perekonomian di Gaza seperti sebelum terjadinya perang. Semakin cepat perang usai maka pemulihan bisa semakin cepat dicapai.

Dampak ekonomi perang Gaza....

Dampak ekonomi perang di Gaza juga ke mana-mana. Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan pertumbuhan ekonomi Timur Tengah tak sesuai proyeksi. Penyebabnya, perang Israel melawan Hamas di Gaza serta pemangkasan produksi minyak oleh negara produsen. 

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam Arab Fiscal Forum di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) mengingatkan soal dampak regional yang lebih luas bila perang di Gaza terus berlanjut. Ini sudah disampaikan pula dalam laporan ekonomi kawasan bulan lalu. 

IMF merevisi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, turun menjadi 2,9 persen tahun ini. Lebih rendah dibandingkan proyeksi pada Oktober karena pemangkasan jangka pendek produksi minyak serta perang di Gaza. 

Bulan lalu juga, IMF memperkirakan pertumbuan ekonomi global lebih tinggi, termasuk Cina dan AS. Inflasi ternyata lebih cepat teratasi. Terkait kondisi ekonomi kawasan, Georgieva menyatakan perang di Gaza berimbas pada tetangga Palestina dan Israel. 

Konflik yang masih belum usai ini berdampak buruk pada pendapatan dari wisata, sedangkan serangan di Laut Merah oleh Houthi yang mendukung perjuangan rakyat Palestina di Gaza memicu kenaikan ongkos pengapalan secara global. 

‘’Faktor-faktor ini berkelindan dengan tantangan perbaikan ekonomi akibat perang sebelumnya,’’ katanya, Ahad (11/2/2024). Seperti diketahui konflik di Gaza merembet ke Laut Merah, yaitu aksi Houthi yang menyerang kapal yang punya kaitan dengan AS, Inggris, Israel. 

Mereka menargetkan kapal komersial dengan drone dan rudal sejak November tahun lalu. Mereka menegaskan aksi sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Israel membombardir Gaza yang menyebabkan kematian 28 ribu warga sipil di sana. 

Perusahaan pengapalan global mengubah rute dari Laut Merah ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Rute yang lebih panjang jika melalui Laut Merah dan Terusan Suez. Di forum yang sama, Menkeu Mesir Mohamed Maait mengenai pengaliha rute itu. 

Ia bersyukur dampaknya bisa relatif teratasi karena pertumbuhan ekonomi sebelumnya bagus. Kini, pemerintah lebih berharap pada sektor swasta. ‘’Jika Anda melihat proyeksi belanja dalam kurun tujuh bulan, turun 10 persen,’’ katanya.

Perang berkepanjangan dengan Hamas...

Peringkat kredit

Perang berkepanjangan dengan Hamas, melahirkan beban ekonomi dan politik bagi Israel. Demikian diungkapkan lembaga pemeringkat kredit internasional Moody’s Investor Service. Dengan kondisi seperti itu, Moody’s menurunkan peringkat kredit Israel. 

Melihat kerusakan ekonomi Israel akibat perang dengan Hamas yang telah menyebabkan 27 ribu lebih warga sipil Gaza meninggal dan memicu ketegangan dunia, Moody’s yang bermarkas di New York, AS akhirnya menurunkan peringkat utang Israel dari A1 ke A2. 

Dalam pernyataan Jumat (9/2/2024) waktu setempat, Moody’s menyatakan pendorong utama keputusan ini adalah konflik militer Israel dengan Hamas yang saat ini masih berlangsung serta konsekuensi lebih luas yang secara material memicu risiko politik. 

‘’Perang ini juga memperlemah lembaga eksekutif dan legislative serta kekuatan fiskal Israel di masa mendatang,’’ demikian pernyataan Moody’s mengenai keputusan menurunkan peringkat kredit Isarael yang dilansir laman berita CNN

Peringkat A2 masih mempertimbangkan tingkat investasi, namun penurunan peringkat ini membuat Israel membayar lebih mahal ketika mereka meminjam uang atau berutang. Sebelum putusan Jumat, Moody’s sebenarnya sudah menyampaikan peringatan. 

Tepatnya, pada pertengahan Oktober 2003 atau dua pekan setelah serangan 7 Oktober ke Gaza, Moody’s mengingatkan Israel bahwa peringkat kredit mereka dalam bahaya karena ada potensi diturunkan grade-nya. 

Saat itu, Moody’s menyatakan profil kredit Israel dalam kondisi rawan akibat konflik militer pada masa sebelumnya, ditambah konflik militer terkini yang bisa saja berlangsung dalam waktu lama serta bakal menimbulkan dampak pada peringkat kredit.

Moody’s menambahkan keputusan pada Jumat, juga merujuk pada proyeksi defisit anggaran Israel sebagai imbas meningkatnya belanja militer mereka. Proyeksinya, belanja pertahanan Israel hingga akhir 2024 dua kali lipat dibandingkan 2022. 

Bahkan Moody’s memperkirakan dalam beberapa tahun mendatang belanja pertahanan ini kian melonjak jumlahnya. Memang saat ini proses negosiasi sedang berlangsung mengenai pembebasan sandera oleh Hamas, gencatan senjata, serta bantuan kemanusiaan ke Gaza. 

‘’Namun, belum ada kejelasan mengenai potensi keberhasilan negosiasinya, kerangka waktunya, dan seberapa lama kesepakatan itu bisa bertahan,’’ungkap Moody’s. Mereka juga mengingatkan mengenai risiko besar akibat meluasnya konflik saat ini. 

Termasuk keterlibatan lebih dalam Hizbullah di Lebanon dalam konflik ini. ‘’Konflik dengan Hizbullah akan melahirkan risiko lebih besar bagi teritori Israel,’’ jelas Moody’s. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler