Masuk Daftar Buron Rusia, PM Estonia: Saya tidak Takut

Kallas dispekulasikan akan menduduki posisi tinggi di Uni Eropa.

AP/Kenzo Tribouillard/Pool AFP
Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas berbicara dengan media saat ia tiba untuk KTT Uni Eropa di gedung Dewan Eropa di Brussels, Kamis, 16 Desember 2021. Para pemimpin Uni Eropa bertemu untuk pertemuan puncak satu hari Kamis yang akan berpusat pada ancaman militer Rusia ke negara tetangga Ukraina dan tentang cara untuk menangani krisis COVID-19 yang berkelanjutan.
Rep: Lintar Satria Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, MUNICH -- Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas mengatakan ia menepis surat perintah penangkapan yang dikeluarkan Rusia. Ia mengatakan langkah itu hanya upaya untuk mengintimidasinya. Kallas dispekulasikan akan menduduki posisi tinggi di Uni Eropa.

Baca Juga


Estonia pernah menjadi bagian dari Uni Soviet dan kini anggota Uni Eropa dan Organisasi Pertahanan Atlantik utara (NATO). Negara itu merupakan pendukung Ukraina dan Kallas salah satu kritikus Moskow paling vokal sejak Rusia melancarkan serangan ke Ukraina hampir dua tahun yang lalu.

Pada 13 Februari lalu kepolisian Rusia memasukan Kallas dan beberapa politisi negara Baltik lainnya ke dalam daftar buron. "Ini bertujuan mengintimidasi dan membuat saya menahan diri dari keputusan yang akan saya buat," kata Kallas di sela Konferensi Keamanan Munich, Ahad (19/2/2024).

"Namun itu aturan main Rusia, tidak ada yang mengejutkan dan saya tidak takut," tambahnya. Politisi negara Baltik yang masuk dalam daftar buron itu berisiko ditahan saat melewati perbatasan Rusia. Selain itu tidak ada konsekuensi nyata yang akan mereka hadapi.

Kallas merupakan salah satu pemimpin pemerintah yang mendorong Uni Eropa memberikan dukungan lebih banyak pada Ukraina. Hal ini memicu spekulasi ia dapat menduduki jabatan senior di pemilihan parlemen Uni Eropa pada Juni mendatang, kemungkinan sebagai kepala kebijakan luar negeri.

Ia mengatakan spekulasi itu berkontribusi pada sikap agresif Rusia terhadapnya. "Sulit menjadi populer, Rusia juga melihat itu, dan itulah mengapa mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk memberi penekanan argumen terbesar terhadap saya, saya yang memprovokasi Rusia," katanya.

Saat ditanya apakah ia tertarik menduduki posisi di Uni Eropa di masa depan. "Kita belum sampai ke sana, saya Perdana Menteri Estonia," katanya.

Tahun lalu Estonia menginisiasi pembicaraan untuk meningkatkan pasokan amunisi Eropa ke Ukraina. Sebanyak 27 negara anggota setuju untuk mengirim satu juta peluru artileri ke Ukraina pada Maret tahun ini. Blok itu diperkirakan hanya mampu memenuhi setengah dari target tersebut.

"Apa yang terungkap adalah kami tidak memiliki cukup amunisi, kami tidak memproduksi cukup amunisi dan kami tidak cukup cepat," kata Kallas. Di Konferensi Keamanan Munich, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy meminta sekutu-sekutu Ukraina untuk menutupi kekurangan senjata yang membuat pasukan Rusia kini lebih unggul di medan perang. Presiden Ceko Petr Pavel mengatakan negaranya mengidentifikasi ratusan ribu peluru yang dapat diperoleh dari luar blok dengan cepat, tetapi membutuhkan dana untuk melakukannya.

Tidak diketahui berapa banyak negara Uni Eropa yang mendukung langkah yang dapat dipersulit lisensi ekspor dan keengganan di antara beberapa orang untuk membeli di luar Eropa. "Ini jelas merupakan pilihan yang layak. Kita semua harus menyadari kita harus melakukan segalanya untuk menghentikan agresor di sana," kata Kallas.

"Apa yang kami pelajari dari tahun 1930-an adalah harga akan menjadi lebih tinggi untuk semua orang dengan setiap keraguan, dengan setiap penundaan," tambahnya. Kallas juga melontarkan gagasan obligasi khusus Uni Eropa untuk membantu mendanai pengeluaran pertahanan yang lebih tinggi. Tapi ia perlu meyakinkan negara-negara seperti Jerman, Belanda dan negara-negara Nordik yang biasanya skeptis pada pinjaman bersama Uni Eropa.

"Saya tahu apa argumen kontra dari beberapa negara yang benar-benar menentang jenis pendekatan ini, tetapi kemudian saya bertanya: Apa alternatifnya?" ia mempertanyakan. 

sumber : reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler