Kekerasan Picu Kepribadian Sadistis-Agresif, Mengapa Remaja Rela Diplonco demi Masuk Geng?

Remaja bergabung geng karena dalam fase mencari jati diri.

www.chicago-bureau.org
Bullying (ilustrasi)
Rep: Santi Sopia Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus perundungan (bullying) di sekolah Binus School Serpong, Tangerang Selatan menghebohkan lini massa X (sebelumnya Twitter). Pasalnya, pelaku bully yang ikut terlibat dalam kasus itu merupakan anak-anak dari sejumlah pesohor.

Baca Juga


Kasus perundungan tersebut diduga karena korban hendak masuk menjadi anggota geng. Mengapa anak remaja rela masuk geng yang melakukan kekerasan?

Psikolog anak,remaja & keluarga, Sani Budiantini Hermawan mengatakan anak rela diplonco atau dibully karena menganggap itu sebagai ajang kekuatan untuk masuk geng. Selain itu, sebagai bentuk kebersamaan satu rasa melalui hal, cobaan dan ujian yang sama.

"Sehingga nanti akhirnya akan menimbulkan solidaritas," kata Sani saat dihubungi, Selasa (20/2/2024).

Akan tetapi cara untuk mencapai solidaritas dengan perploncoan tersebut akan lebih banyak menimbulkan efek negatif dibandingkan dampak positifnya terhadap anak. Dampak masuk geng dengan perilaku kekerasan yang dibenarkan atau diperbolehkan, maka bisa membentuk kepribadian anak menjadi sadistis, agresif, kasar kurang empati dan menghalalakan segala cara.

Terlebih kalau di luar kendali, bisa saja anak jadi berurusan dengan pihak kepolisian di luar sekolah. Jadi, ketika anak ingin mencari reputasi, tetapi dengan cara cepat, maka konsekuensinya pun akan berat.

"Dan yang menjadi korban juga kalau dilaporkan pelaku akan kena sanksi," lanjutnya.

Remaja masuk geng karena mencari....

Sani yang juga Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, menjelaskan anak remaja yang berpartisipasi pada geng sekolah, pada intinya memang sedang melalui fase usia mencari jati diri dan identitas diri. Sehingga pada akhirnya mereka merasa punya identitas sosial dengan masuk menjadi anggota geng tertentu.

Kalau seandainya dalam persepsi remaja, geng itu lebih bergengsi, misalnya, maka banyak orang akan ikut geng tersebut. Remaja akan merasa citra atau image mereka menjadi berubah karena masuk geng yang dianggap kuat dan keren. 

Hal itu meskipun geng tersebut secara aksi banyak melakukan perundungan dalam perekrutannya. Banyak kekerasan yang sebenanrya tidak baik, tapi diabaikan karena temaja tersebut mengharapkan identitas diri. 

Identitas tersebut sangat diharapkan meningkatkan kepercayaan diri remaja. Memang, menjadi anggota geng bisa menjadi cara cepat meraih reputasi diri dibandingkan dengan melakukan proses belajar, atau misalnya jadi juara pada lomba tertentu yang positif. 

Tetapi cara cepat untuk mendapatkan jati diri lewat masuk geng tentu bukan hal yang tepat. Walaupun terjadi perundungan dan harus menanggung kekerasan dari seniornya, remaja yang masuk menjadi anggota geng berharap memiliki solidaritas, merasa aman, dan dijaga senior. Harapan mereka, selain mendapatkan identitas diri, juga jadi merasa aman.

"Mungkin saja di sekolah itu dianggap tidak aman kalau tidak masuk geng," lanjutnya. 

Meski demikian, masuk geng tidak selalu berarti negatif. Hal ini begantung geng tersebut memiliki nilai dan aktivitas yang positif atau sebaliknya juatru negatif. Sebaiknya orang tua berperan mengingatkan anak tentang geng-geng di sekolah. Sebab ada geng formal yang di bawah naungan sekolah, juga ada geng informal di luar tanggungjawab sekolah.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler