Ekonomi Global Melambat, OJK: Perbankan Indonesia Tetap Berdaya Saing
Hal tersebut didukung oleh tingkat profitabilitas ROA sebesar 2,74 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski dalam risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan industri perbankan Indonesia per Desember 2023 tetap resilien dan berdaya saing. Hal tersebut didukung oleh tingkat profitabilitas ROA sebesar 2,74 persen dan NIM sebesar 4,81 persen.
“Permodalan (CAR) perbankan relatif tinggi sebesar 27,65 persen menjadi bantalan mitigasi risiko yang solid di tengah kondisi ketidakpastian global,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam konferensi pers Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024 di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Dari sisi kinerja intermediasi, pada Desember 2023, secara tahunan kredit meningkat Rp 666,68 triliun. Angka tersebut tumbuh double digit sebesar 10,38 persen menjadi Rp 7.090 triliun.
“Pertumbuhan tersebut utamanya didorong kredit investasi yang tumbuh sebesar 12,26 persen secara tahunan dan kredit modal kerja sebesar 10,05 persen secara tahunan,” ucap Dian.
Sementara, ditinjau dari kepemilikan bank, Bank BUMN menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit, yaitu tumbuh sebesar 12,02 persen secara tahunan. Hal itu dengan porsi kredit sebesar 45,64 persen dari total kredit perbankan.
Dian menambahkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Desember 2023 tercatat 3,73 persen secara tahunan atau menjadi Rp 8.458 triliun. Hal itu dengan giro menjadi kontributor pertumbuhan terbesar yaitu 4,57 persen secara tahunan.
Likuiditas industri perbankan pada Desember 2023 juga meningkat dengan rasio-rasio likuditas jauh di atas level kebutuhan pengawasan. “Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing naik menjadi 120,07 persen dan 28,73 persen atau jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen,” jelas Dian.
Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL neto perbankan sebesar 0,71 persen dan NPL bruto sebesar 2,19 persen. Seiring pertumbuhan perekonomian nasional, jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 juga melanjutkan tren penurunan menjadi sebesar Rp 265,78 triliun atau turun Rp 19,53 triliun dengan jumlah nasabah tercatat sebanyak 1,04 juta nasabah.
“Menurunnya jumlah kredit restrukturisasi dan NPL berdampak positif bagi penurunan rasio loan at risk menjadi 10,94 persen,” ujar Dian.
Jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 yang bersifat targetted, sektoral, industri dan daerah tertentu yang memerlukan periode restrukturisasi kredit atau pembiayaan tambahan selama satu tahun sampai 31 Maret 2024 adalah 42,3 persen dari total porsi kredit restrukturisasi Covid-19.