Ironi Universitas Pancasila: Rektor Dilaporkan Usai Kampus Bentuk Satgas Kekerasan Seksual
Rektor UP Edie Toet Hendratno dilaporkan oleh pejabat bagian humas berinisial RZ.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Rizky Suryarandika, Antara
Seorang wanita berinisial RZ membuat laporan terhadap Rektor Universitas Pancasila, Jakarta Prof Dr Edie Toet Hendratno ke Polda Metro Jaya atas dugaan kasus dugaan pelecehan seksual. Dalam laporannya, Edie diduga melakukan pelecehan secara seksual terhadap RZ yang merupakan pejabat di bagian kehumasan di universitas tempat rektor tersebut menjabat.
Pada Sabtu (24/2/2024), Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombe Ade Ary Syam Indradi membenarkan bahwa, pihaknya telah menerima laporan dugaan pencabulan tersebut dengan terlapor berinsial ETH. Laporan korban terdaftar dengan LP/B/193/I/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 12 Januari 2024. Korban melaporkannya terkait Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Benar, ditangani oleh Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Saat ini sedang dilakukan penyelidikan," ujar Ade Ary.
Menurut Ade Ary, RZ telah dimintai keterangan oleh penyidik. Adapun, Rektor Edie sebagai terlapor dijadwalkan diperiksa pada hari ini, Senin (26/2/2024).
"(Korban) sudah diambil keterangannya dalam rangka penyelidikan,” kata Ade Ary.
Menurut kuasa hukum RZ, Amanda Manthovani, peritiwa asusila yang diduga dilakukan Edie terhadap RZ terjadi di lingkungan kampus tersebut pada 6 Februari 2023. "Saat itu RZ dapat laporan dari sekertaris rektor, bahwa hari itu dia harus menghadap rektor. Jam 13.00 WIB dia menghadap rektor, dia ketuk pintu, pas dia buka pintu rektornya sedang duduk di kursi kerjanya," jelas kuasa hukum korban, Amanda Manthovani saat dikonfirmasi, Sabtu (24/2/2024).
Amanda melanjutkan, korban pun duduk di kursi yang berada di hadapan terduga pelaku. Pada saat itu Edie memberikan sejumlah perintah terkait pekerjaan kepada korban. Selanjunya, terduga pelaku ETH perlahan bangkit dari kurisnya dan duduk lebih dekat lagi dari RZ. Kemudian secara tiba-tiba orang nomor satu di Univeritas Pancasila itu langsung menyosor pipi korban RZ.
"Dia (terlapor) sambil duduk nyatet-nyatet, tiba-tiba dia dicium sama rektor, pipinya," jelas Amanda.
Kemudian secara spontan, kata Amanda, terkejut dan berdiri dari posisinya. Ketika itu korban RZ mengaku ketakutan dan ingin melarikan diri dari lokasi kejadian. Namun, kemudian terlapor tiba-tiba meminta korban untuk meneteskan obat tetes dengan dalih matanya memerah. Ternyata tidak hanya menyuruh korban meneteskan obat air mata ke mata korban dengan jarak yang tidak terlalu jauh, terduga pelaku kembali melecehkan RZ.
“Tapi secara tiba-tiba tangan kanannya prof itu meremas payudaranya dia. Seperti itu, menurut keterangannya korban begitu ceritanya,” jelas Amanda.
Setelah kejadian itu, korban sempat melaporkan peristiwa pelecehan seksual itu ke atasannya. RZ pun melaporkan kejadian memalukan itu ke polisi setelah suaminya mencium gelagat aneh dari sang istri. Suami RZ kemudian mendesak korban untuk berterus terang dan setelah mendengar cerita istrinya hingga akhirnya mereka melaporkan ke pihak kepolisian.
"Akhirnya cerita sama suaminya. Setelah cerita sama suaminya, suaminya langsung spontan lapor," kata Amanda.
Menurut Amanda, Rektor Edie juga dilaporkan korban berbeda berinisial DF. Laporan dibuat di Bareskrim Polri.
“Sebenernya ini ada dua korban yang melaporkan membuat laporan ada dua bukan satu orang. Kebetulan dua orang ini kuasa hukumnya saya juga dan dua orang ini sama sama bekerja di kampus,” ujar Amanda, Ahad (25/2/2024).
Amanda menyebut, untuk korban DF merupakan karyawan honorer di kampus tersebut. Setelah mengalami tindakan pelecehan dari Edie, korban DF langsung menangis dan sempat bercerita ke korban RZ dan beberapa orang. Ketika itu RZ berupaya menenangkan korban DF, tapi ternyata apa yang menimpa DF juga terjadi pada RZ di akhir Februari 2023 lalu.
"Hampir sama kejadiannya, cuma mbak DF memang dicium, tapi posisinya itu mukanya DF itu dipegangin terus diciumin. Si DF kan waktu itu usianya masih muda, kejadiannya itu dia masih 23 tahun," ungkap Amanda Manthovani.
Kuasa hukum Rektor Universitas Pancasila, Raden Nanda Setiawan menyebutkan bahwa kliennya yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap RZ (42) batal menghadiri pemeriksaan di Polda Metro Jaya pada Senin. Alasannya, terlapor sudah memiliki jadwal sebelum undangan pemeriksaan diterima.
"Pada hari ini klien kami Prof ETH sedang berhalangan hadir dalam pemeriksaan di Subdit Renakta Polda Metro Jaya karena sudah ada jadwal sebelum surat undangan dari Polda Metro Jaya diterima," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (26/2/2024).
Raden Nanda menjelaskan pihaknya juga telah menyerahkan surat permohonan penundaan pemeriksaan kliennya. Selain itu, Raden Nanda menyebutkan bahwa laporan dari korban RZ tidak benar dan tidak pernah terjadi peristiwa yang dilaporkan tersebut.
"Namun kembali lagi hak setiap orang bisa mengajukan laporan ke Kepolisian, tapi perlu kita ketahui laporan atas suatu peristiwa fiktif akan ada konsekuensi hukumnya," katanya.
Terhadap berita yang beredar terkait peristiwa yang dilaporkan tersebut, pihaknya tetap menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocent). "Terlebih lagi isu pelecehan seksual yang terjadi satu tahun lalu, terlalu janggal jika baru dilaporkan pada saat ini dalam proses pemilihan rektor baru," katanya.
Namun Raden Nanda menyatakan, pihaknya tetap berkomitmen mengikuti proses atas laporan tersebut. "Kita percayakan kepada pihak Kepolisian untuk memproses secara profesional," katanya.
Kabiro Humas Universitas Pancasil Putri Langka mengaku sudah mengetahui laporan tersebut. Pihaknya akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan mengingat sedang ditangani pihak berwenang.
"Selain itu kami juga menghormati pihak-pihak yang terlibat lainnya, baik pelapor maupun terlapor. Kami selalu berpegang pada prinsip praduga tak bersalah sampai pada putusan hukum ditetapkan," katanya.
Pihaknya juga mengimbau semua pihak untuk mendukung proses yang sedang berjalan ini. "Yang jelas kami selalu berkomitmen untuk kooperatif dalam menjaga hal terbaik untuk institusi," katanya.
Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mendukung keberanian korban dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila untuk melapor ke polisi. Siti mengamati ada faktor ketimpangan relasi dalam kasus tersebut.
"Kami mendukung langkah korban untuk melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya ke sistem peradilan pidana," kata Siti kepada Republika, Ahad (25/2/2024).
Siti menekankan keberanian korban haruslah didukung tidak hanya oleh keluarga, namun juga oleh ekosistem di perguruan tinggi dimana korban berada. Sehingga korban tidak mengalami reviktimisasi.
"Dukungan dimaksud adalah dengan memberikan perlindungan, memastikan tidak mendapatkan sanksi dan memfasilitasi pemulihannya," ujar Siti.
Siti menganalisis adanya ketimpangan relasi antara korban dengan terduga pelaku. Hal ini didasarkan kronologi yang disampaikan oleh korban.
"Terjadi relasi yang timpang antara pelaku dan korban yaitu antara atasan-bawahan, dan antara laki-laki dan perempuan. Kerentanan korban sebagai bawahan dan perempuan dimanfaatkan oleh pelaku," ujar Siti.
Siti menegaskan pelecehan seksual yang dialami korban termasuk salah satu bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sehingga ia mendorong penerapan pasal 6 UU TPKS oleh penyidik agar menunjukkan UU TPKS telah berlaku efektif.
"Namun, kami berharap penyidik dan/atau pendamping korban untuk berkoordinasi dengan UPTD PPA dan LPSK untuk pemenuhan hak korban. Mengingat pelaku memiliki kuasa di atas korban," ujar Siti.
Satgas PPKS UP
Laporan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap Rektur UP Prof Eddie Toet Hendratmo terbilang ironis lantaran kampus itu belum lama ini membentuk satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk menciptakan rasa aman para mahasiswa di kampus tersebut. Pelantikan dan pengambilan sumpah satgas (Satgas PPKS) pada 15 Desember 2023 lalu bahkan dilakukan langsung oleh sang rektor.
"Pembentukan Satgas PPKS ini adalah salah satu upaya UP dalam melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi," kata Prof. Edie Toet Hendratno saat itu.
Menurut dia pembentukan Satgas PPKS bertujuan untuk mengantisipasi agar segala bentuk kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak terjadi, sehingga UP dapat menjadi kampus yang aman dari kekerasan seksual. Satgas PPKS UP memiliki beberapa fungsi utama dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual, yaitu memberikan program edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual dan cara mencegahnya.
Selain itu juga memberikan pelatihan kepada berbagai pihak, termasuk pimpinan, dosen, mahasiswa, petugas penegak hukum, tenaga medis, guru, dan masyarakat umum, untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menangani pelecehan seksual, mengadvokasi perubahan kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung pencegahan pelecehan seksual.
"Satgas PPKS juga dapat melakukan investigasi dengan melakukan penyelidikan dan investigasi terhadap laporan pelecehan seksual untuk mengumpulkan bukti dan menegakkan hukum, memberikan dukungan kepada korban," kata Prof Edie Toet.
Sebanyak 11 orang Satgas PPKS UP periode 2023-2025 yang dilantik pada kesempatan ini secara resmi diambil sumpah dan diberikan tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) ikut menaruh perhatian atas kasus ini. Bahkan KPPPA menganggap dugaan kasus ini sebagai ironi dunia kampus.
"Justru ironis ketika ini (dugaan pelecehan) dilakukan oleh figur yang seharusnya memberikan perhatian, melindungi. Ini akan jadi perhatian kita," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA, Ratna Susianawati kepada Republika, Senin (26/2/2024).
Satgas PPKS UP sebenarnya memiliki beberapa fungsi diantaranya memberikan edukasi tentang kekerasan seksual dan cara mencegahnya; memberikan pelatihan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menangani pelecehan seksual; mengadvokasi perubahan kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung pencegahan pelecehan seksual.
"Kita harapkan dengan terbentuknya satgas ini kasus kekerasan seksual bisa dikurangi tapi ternyata masih saja terjadi," ujar Ratna.
Sehingga, Ratna berharap Satgas PPKS di UP tersebut dapat bekerja maksimal mencegah dan menangani kekerasan seksual. Ratna tak ingin pembentukkan Satgas PPKS UP sekadar formalitas.
"Ini kan kadang-kadang kita berharap hal ini nggak sekadar simbolik, tapi kerja implementasi untuk jadi deteksi dini terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus," ujar Ratna.