Tanggung Luka Jiwa Luar Biasa, Anak-Anak Gaza Merasa Mereka Lebih Baik Mati

Peristiwa sejak 7 Oktober memperparah kerusakan mental anak-anak di Gaza.

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Anak-anak pengungsi Palestina antre untuk menerima makanan yang disediakan oleh relawan di kota Deir Al Balah, Jalur Gaza Selatan, Sabtu (24/2/2024). Sebanyak 1,9 juta orang telah mengungsi di Gaza akibat konflik berkepanjangan. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menyatakan sebagian besar warga sipil di Gaza sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Blokade Israel dan serangan tanpa ampun Israel di Jalur Gaza menyebabkan 12 ribu anak-anak Palestina meninggal dunia. Sebanyak satu juta lebih anak Palestina mengalami trauma psikologis.

Banyak dari mereka yang berusia dibawah lima tahun telah kehilangan kedua orang tua dan keluarga mereka, menginginkan untuk mati daripada hidup yang terus-menerus dibayangi oleh kekejaman Israel.

BACA JUGA: Dibaca Setelah Subuh, Ini 5 Doa Pilihan Memohon Kelapangan Rezeki

Baca Juga



Kepala Medecins Sans Frontières (Dokter Tanpa Batas) mengatakan PBB telah membuat istilah baru untuk mereka, yakni WCNSF alias anak yang terluka, tidak ada keluarga yang masih hidup. Istilah ini merujuk pada tingkat keparahan penderitaan anak-anak Gaza yang telah mengalami kerugian yang tidak dapat diatasi di tengah perang di wilayah yang terkepung.

Kementerian kesehatan di Gaza mengatakan pada Jumat bahwa setidaknya 29.514 orang, termasuk lebih dari 12 ribu anak-anak meninggal dunia di wilayah Palestina selama perang sejak 7 Oktober. Dalam 24 jam terakhir saja, lebih dari 100 orang telah meninggal dan total 69.616 lainnya telah terluka, dalam konflik yang hampir memasuki bulan kelima

"Anak-anak yang selamat dari perang ini tidak hanya akan menanggung luka yang terlihat tetapi juga luka traumatis mereka yang tidak terlihat," kata Sekretaris Jenderal Internasional MSF Christopher Lockyear di hadapan dewan 15 anggota.

“Ada peristiwa dan ketakutan yang terus-menerus berulang dan menyaksikan anggota keluarga mereka terpotong-potong di depan mata mereka. Cedera psikologis ini telah membuat anak-anak paling muda lima tahun memberi tahu kami mereka lebih suka mati," katanya, dilansir dari New Arab, Senin (26/2/2024).

UNICEF memperkirakan setidaknya...

Badan PBB untuk perlindungan anak-anak UNICEF memperkirakan setidaknya 17 ribu anak di Jalur Gaza tidak ditemani atau dipisahkan dari keluarga dekat mereka sejak awal konflik. Anak-anak merupakan sekitar setengah dari keseluruhan populasi pengungsi 1,7 juta orang di Gaza.

"Anak-anak dibunuh pada tingkat yang menghancurkan, seluruh keluarga dimusnahkan, dan semakin banyak orang, termasuk anak-anak, dibiarkan tanpa anggota keluarga yang masih hidup,” kata Manajer Media Regional Save The Children MENA Randa Ghazy.

Ia melanjutkan banyak dari anak-anak mengalami cacat dan menderita cedera fisik, bahkan tidak banyak dari mereka yang bisa mendapatkan perawatan medis. “Anak-anak memiliki status khusus dalam konflik, kerentanan spesifik, dan hak dan kewajiban yang berbeda kepada mereka. Mereka harus dilindungi,” ujar Ghazy.

Ghazy menambahkan laporan MSF lebih lanjut menekankan bagaimana perang telah sangat bebas dan tidak dapat diterima pada kantong yang paling rentan. Menurutnya ini yang menyebabkan peningkatan risiko eksploitasi, pengabaian, dan kekerasan untuk anak-anak sehingga berkontribusi pada risiko efek kesehatan mental parah dan jangka panjang yang jauh lebih tinggi

UNICEF mengatakan sekitar 500 ribu anak sudah membutuhkan kesehatan mental dan dukungan psikososial di Gaza sebelum peperangan dimulai. Dengan kondisi saat ini, lebih dari satu juta anak-anak membutuhkan perawatan kesehatan mental. Jalur Gaza dianggap sebagai tempat paling berbahaya di dunia untuk anak-anak.

“Kami tahu dari penelitian 2022 kami bahwa anak-anak di Gaza sudah menghadapi krisis kesehatan mental sebelum eskalasi ini setelah 15 tahun blokade yang membatasi kehidupan yang diberlakukan di Jalur Gaza oleh Pemerintah Israel. Jadi, peristiwa sejak 7 Oktober memperparah kerusakan mental yang ada,” kata Ghazy.

Anak-anak yatim piatu lebih rentan...

"Selain itu, anak-anak yatim piatu lebih rentan terhadap kesulitan ekonomi, kesempatan pendidikan yang terbatas, dan peningkatan kerentanan terhadap eksploitasi dan mekanisme penanggulangan negatif, seperti pekerja anak atau pernikahan dini, terutama dalam konteks seperti Gaza di mana tidak ada pengaturan perawatan alternatif yang cocok dan aman,” ujarrnya.

Ghazy memperingatkan sebagai akibat dari akses bantuan yang terbatas, yang berarti penggunaan bahan bakar yang dibatasi, kurangnya keselamatan bagi pekerja bantuan dan konvoi, itu telah menjadi halangan besar untuk mengidentifikasi dan mendukung anak-anak tanpa pendamping dan terpisah.

"Perawatan sementara segera sangat penting, mereka yang masih bertahan sudah berjuang untuk sumber daya yang bahkan secara fisik dan emosional kelelahan setelah empat bulan konflik, menghadapi tantangan dalam menerima lebih banyak anak," katanya.

"Pemadaman komunikasi menghambat upaya respons, menyulitkan staf kami untuk mengatasinya, terutama tenaga kesehatan yang kelelahan dan berjuang untuk mendaftarkan anak-anak tanpa pendamping,” ujarnya.

“Tanpa gencatan senjata segera dan definitif dan akses penuh tanpa batas untuk anak-anak di seluruh Jalur Gaza, kami tidak dapat memberikan skala dukungan dan layanan yang sangat mereka butuhkan. Anak-anak tidak bisa terus membayar harga untuk politik yang rusak," kata Ghazy.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler