Pakar Ungkap Dampak Positif-Negatif Penghapusan Ambang Batas Parlemen 4 Persen

Pemerintah bakal terkendala meraih dukungan parlemen jika parpol terlalu banyak.

Republika/Thoudy Badai
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) menyebut penghapusan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen layaknya koin bermata dua. Putusan yang diketok oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu dinilai punya dampak positif dan negatif.

Baca Juga


Dewan Pembina Pusham UII Despan Heryansyah menilai putusan MK tersebut bisa dimaknai sebagai nutrisi baru untuk peradaban demokrasi. Sebab selama ini kalau ada partai kecil yang dapat suara 3 persen malah tidak bisa masuk ke Senayan.

"Bagaimanapun 3 persen itu adalah suara rakyat, yang jika tidak dihitung, rakyatlah yang dirugikan karena suaranya menjadi tidak terwakili di DPR," kata Despan kepada Republika.co.id, Jumat (1/3/2024).

Despan mengingatkan 3 persen tergolong angka yang besar dalam hajatan Pemilu 2024. Apalagi kalau ada banyak partai yang tidak mencapai 4 persen maka jika dikonversi suaranya menjadi besar. "Jadi dengan perubahan 4 persen ini perlindungan terhadap suara rakyat semakin terlindungi," ujar Despan.

Walau demikian, Despan meminta penentuan ambang batas di pemilu berikutnya harus hati-hati sekaligus dibarengi kebijakan strategis. Despan mengkhawatirkan terlalu banyaknya parpol yang mengikuti Pemilu. "Karena jika tidak, partai politik akan menjamur di Indonesia," ujarnya.

Kalau jumlah parpol terlalu banyak, Despan menduga pemerintah bakal terkendala dalam meraih dukungan parlemen guna menyelenggarakan pemerintahan yang baik. "Implikasinya adalah terhadap jalannya pemerintahan menjadi terganggu karena sulitnya mendapatkan dukungan parlemen. Ini juga masalah serius yang tidak bisa di lupakan begitu saja," ujar Despan.

MK baru saja mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 itu dibacakan pada 29 Februari 2024.

MK memutuskan kebijakan baru mengenai ambang batas parlemen diterapkan di Pemilu berikutnya. Sebab terlebih dahulu akan ditentukan besarannya oleh pembentuk undang-undang. Dengan begitu, revisi ambang batas parlemen 4 persen ditargetkan tuntas sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029. 

Dalam pertimbangan hukum, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen. Angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.

Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, tapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler