Denny JA: Golkar dan PSI Berebut Efek Jokowi?
Siapa yang memperebutkan efek Jokowi?
Oleh: Dr Denny JA, Pengamat politik.
Kita harus membedakan "efek Jokowi" pada capres dan pada partai. Mengapa? Pada capres, efek Jokowi ini akhirnya hanya dimonopoli oleh Prabowo-Gibran saja.
Penambahan suara Prabowo-Gibran pun juga sebagian karena migrasi dan eksodus besar-besaran pemilih Jokowi dari Ganjar Pranowo akibat blunder fatal kubu Ganjar sendiri.
"Jokowi's effect" ini berbeda di dunia partai dalam pemilu legislatif. Untuk dunia partai yang bertarung ada Gerindra, Golkar, PAN, dan juga PSI. Semua partai ini memainkan efek Jokowi.
Golkar misalnya membuat iklan yang besar dan masif berkisar asosiasi tentang Golkar-Jokowi dan Jokowi-Golkar. Iklan ini diulang-ulang menjelang hari pemilihan 14 Februari 2024. Hasilnya: efek Jokowi kepada Golkar naiknya sangat terasa.
Hal yang sama juga dengan PAN. Partai ini juga mengasosiasikan diri kuat sekali dengan Jokowi. Bahkan ketika bagi-bagi bansos pun, dinyatakan: "Ini bansos dari Jokowi, ya. Jangan lupa.”
PSI sendiri suaranya juga naik jika dibandingkan dengan Pileg 2019. Tapi memang naiknya dukungan pada PSI tidak signifikan ke angka melampaui 4%, untuk lolos parliamentary threshold.
Mengapa PSI tak mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dari Jokowi? Bukankah ketum PSI juga putra Jokowi?
Ketika semua berebut efek Jokowi, penentunya kemudian adalah efektivitas mesin politik partai. Ketika banyak partai mengasosiasikan diri dengan Jokowi, mesin Golkar dan mesin PAN jauh lebih kuat, jauh lebih besar, jauh lebih berpengalaman, dan jauh lebih lihai dibandingkan dengan mesin PSI.
Akibatnya, PSI mendapatkan porsi efek kecil saja dari Jokowi itu. Golkar dan PAN jauh lebih besar mendapatkannya. Untuk dunia partai, Golkar yang paling memperoleh buah termanis dari efek Jokowi.
Sebutkan "The TOP 3" pemenang pemilu 2024? Ini jawabannya, tegas dan tanpa keraguan. Pemenang pertama adalah Prabowo dan Gibran. Pasangan terpilih telak sekali, menang satu putaran saja.
Pemenang kedua adalah Jokowi. Itu karena legacy Jokowi diteruskan oleh pasangan Capres dan Cawapres pilihannya, yang menang Pilpres 2024.
Pemenang ketiga adalah Partai Golkar! Memang dukungan kepada PDIP lebih tinggi dibandingkan Golkar pada Pileg 2024. Tapi dukungan kepada PDIP jika dibandingkan dengan Pileg 2019, justru menurun.
Sebaliknya, walau di Pileg 2024 Golkar memang masih di bawah PDIP, tapi dibandingkan dengan Pileg 2019, naiknya dukungan kepada Golkar paling tinggi dibanding semua partai lainnya.
Bahkan naiknya dukungan kepada Golkar di Pileg 2024 lebih tinggi dibandingkan naiknya Gerindra. Ini sebuah kenyataan yang juga tak biasa.
Ada apa dengan Gerindra?
Mengapa Partai Gerindra tak banyak mendapatkan efek dari Prabowo? Bukankah Prabowo itu sangat berjaya, dan ppGerindra adalah partainya Prabowo sendiri.
Jawabannya: Manuver para caleg, calon legislatif di tingkat nasional. Pada seminggu terakhir sebelum hari pencoblosan 14 Februari 2024, permainan para caleg Golkar itu jauh lebih yahud, lebih canggih, lebih efektif. Itu karena mereka lebih berpengalaman.
Akibatnya memang efek Jokowi ini jauh lebih banyak didapat oleh Golkar melampaui efek Prabowo yang didapatkan oleh Gerindra.
Mengapa sebuah partai politik dipilih oleh warga? Apa motif warga memilih partai itu? Ada dua penyebab.
Pertama adalah identitas partai dalam kaitannya dengan pengalaman pribadi warga. Baik Golkar, Gerindra, PDIP sudah memiliki komunitas militannya sendiri. Hadir Party's ID (Party Identification). Sejak lama warga itu memilih partai yang sama.
Tapi temuan survei LSI Denny JA, 30% dukungan untuk partai itu disumbangkan oleh para calegnya. Warga memilih partai bukan hanya karena daya tarik partai. Sebagian juga itu karena hadirnya caleg yang kuat pesonanya, kuat geraknya, kuat manuver dan mobilisasinya.
Sering terjadi dalam survei, untuk pertanyaan partai mana yang dipilih? Acapkali Gerindra melampaui Golkar. Tapi hasil akhirnya Golkar justru melampaui Gerindra.
Mengapa? Ini karena peran caleg. Umumnya caleg Golkar ini ternyata lebih lihai, lebih berpengalaman, dan memiliki jam terbang lebih tinggi untuk merebut dukungan pemilih.
Jika waktu itu Kaesang terpilih sebagai Ketum PSI lebih awal, mungkin lebih banyak caleg yang datang ke PSI yang lebih memiliki jam terbang. Sehingga para caleg ini akan jauh lebih menyumbangkan suara kepada PSI.
Kini sumbangan suara PSI datang dari Kaesang karena bekerjanya efek Jokowi. Tapi itu tak maksimal. Para caleg PSI dikalahkan oleh para caleg Golkar dalam memainkan “Jokowi effect.”*
fek