Empat Hikmah Keajaiban Penciptaan Alam
Penciptaan alam merupakan tanda meningkatkan keimanan setiap orang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebaikan adalah sinar yang memancar dari hati manusia, menerangi setiap sudut kehidupan dengan kehangatan dan harapan. Untuk menguatkan kebaikan tersebut perlu memperhatikan beberapa aspek, di antaranya:
Pertama, potensi berilmu.
وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78).
Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan kuasa-kuasa Allah SWT, yaitu mengeluarkan manusia dari rahim wanita sebagai anak kecil yang tidak memiliki pengetahuan apapun, lalu menciptakan media untuk belajar dan memahami yaitu pendengaran, penglihatan dan hati, supaya mereka beriman kepada Dzat yang Mahapencipta dengan keyakinan dan keilmuan yang sempurna serta supaya kalian bersyukur atas nikmatnya dengan memanfaatkan setiap anggota tubuh kalian untuk melakukan sesuatu yang baik
Dengan demikian, Allah memberikan pancaindera kepada manusia untuk dimanfaatkan dalam mencari ilmu atau pengetahuan. Yang kemudian ilmu itu bisa dipelajari dan diamalkan.
Salah satu contoh, jika seseorang sudah memiliki ilmu, ia akan paham tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan solat, menunaikan zakat, berbagi sesama Muslim, saling mengingatkan dalam hal kebaikan, dan ibadah sunnah Rasulullah SAW.
Dari sanalah lahir kebaikan dari seseorang yang berilmu dan menggunakan ilmu itu dengan sebaik-baiknya.
Menurut Quraish Shihab dalam ceramahnya menyebutkan ilmu yang paling penting dikuasai adalah ilmu yang tidak menjadi baik kecuali dengan mengetahuinya.
Kutipan itu memiliki makna bahwa setiap orang yang berilmu akan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan Islam, seperti cara mengaji, cara menghafal, cara solat sunnah, dan lain sebagainya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهْلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga. (HR Bukhari dan Muslim).
Lihat halaman berikutnya >>>
Kedua, syahwat
Syahwat dalam Islam merujuk pada dorongan atau keinginan manusia terhadap sesuatu.
Allah berfirman dalam Surat ai Imran ayat 14, yang berbunyi:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S Ali Imran: 14)
Allah SWT memberikan manusia rasa kecintaan terhadap sesuatu sesuai dengan surat Ali Imran ayat 13. Namun, manusia perlu mengontrol rasa tersebut agar tetap dijalan yang benar.
Allah ta’ala menciptakan manusia dengan disertai syahwat. Adanya syahwat pada diri manusia tidak sia-sia, akan tetapi terdapat faedah dan manfaat di dalamnya. Bahkah jika manusia tidak memiliki syahwat (selera) makan, misalnya, kemudian dia tidak makan, sehingga akan menyebabkan dirinya binasa. Demikian juga jika manusia tidak memiliki syahwat terhadap lawan jenis, maka keturunan dapat menjadi terputus.
Meskipun Allah SWT memenuhi kebutuhan manusia dengan memperbolehkan melakukan sesuatu yang ia cintai, tapi bukan berarti setiap hawa nafsunya harus selalu diikuti.
Umat Muslim perlu membatasi setiap hawa nafsu yang datang pada dirinya sendiri. Jika hal tersebut termasuk dalam hal kebaikan yang diridhoi Allah, maka hal itu masih bisa dilaksanakan.
Dengan demikian, mengontrol syahwat ini menjadi salah satu bentuk potensi manusia dalam hal kebaikan.
Ketiga amarah
Setiap manusia diberikan perasaan amarah. Rasulullah SAW menyampaikan, orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat. Namun orang yang mampu menahan amarahnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قال: "لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرُعة، وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW yang telah bersabda: Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, pengendalian amarah merupakan hal penting yang diajarkan untuk mencapai kedamaian dalam hubungan dan kehidupan sehari-hari. Amarah adalah emosi yang kuat dan alami, namun jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan kerusakan dan pertengkaran.
Maka, pentingnya mengontrol perasaan amarah agar tidak menyebabkan kerusakan.
Keempat, adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Alquran dan hadis menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip utama dalam semua tindakan dan keputusan. Allah menegaskan dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Adil tidak hanya mencakup perlakuan yang setara terhadap semua orang, tetapi juga berlaku adil dalam segala hal, termasuk dalam berbicara, bertindak, dan memutuskan suatu perkara.
Keempat hal tersebut merupakan potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia, sehingga manusia harus terus mengembangkan potensi tersebut. Semakin berhasil manusia mengembangkan keempatnya, semakin tinggi nilai keluhuran budinya dan semakin tinggi nilai kebaikannya.