Ini Jejak Beli Emas 7 Ton Jadi Dugaan Korupsi
Kejagung sebut kerugian negara mencapai Rp.1,1 triliun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus pembelian emas PT ANTAM seberat 7 ton, yang berujung dugaan korupsi memasuki babak baru. Upaya Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat hukum konglomerat Budi Said, karena melihat adanya unsur kongkalikong yang merugikan negara, mendapat perlawanan.
Budi Said melalui pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, mengajukan gugatan praperadilan. Mereka menuntut pembatalan status tersangka, sekalipun meminta penghentian penyidikan kasusnya.
Kasus ini berawal dari pembelian emas di Butik ANTAM Surabaya seberat 7 ton, pada Maret sampai dengan November 2018. Dari pembelian emas tersebut, ada label pemberian ‘diskon’ yang membuat Budi Said mendapatkan harga lebih murah.
Dalam proses pembelian itu, Budi Said baru menerima emas 5,9 ton dari PT ANTAM. Sehingga ada kekurangan sekitar 1,3 ton emas.
Pembelian ini kemudian berujung pada gugatan perdata terhadap PT ANTAM atas kekurangan emas tersebut. Di peradilan tingkat pertama, di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, gugatan BS terkabul. Pengadilan mewajibkan PT Antam untuk menyerahkan sisa penyerahan emas seberat 1,3 ton yang menjadi hak Budi Said.
Namun, di tingkat banding, di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, putusan hakim tinggi berbalik dengan menganulir putusan peradilan tingkat pertama. Akan tetapi, BS melawan kemenangan PT Antam di tingkat banding itu, dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Dan hakim agung, mengembalikan putusan PN Surabaya yang memenangkan BS atas PT Antam. MA dalam putusannya menegaskan PT Antam wajib menyerahkan 1,3 ton emas kepada BS, atau setara Rp 1,1 triliun.
PT Antam sempat melawan putusan kasasi tersebut, dengan mengajukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali (PK). Akan tetapi, MA menolak PK tersebut, dan tetap memenangkan BS dalam sengketa tersebut.
Akan tetapi, Kejakgung pada Januari 2024, melakukan penyidikan, dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam transaksi pembelian 2018 tersebut. Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi, mengatakan, perkara yang ditangani ini terkait dengan tindak pidana korupsi dalam proses transaksi dan jual-beli logam mulia emas PT Antam.
“Kita (Kejakgung) tidak tahu-menahu dengan adanya perkara lainnya,” ungkap Kuntadi.
Dijelaskannya, Budi Said dengan dibantu inisial EA, AP, EK, dan MD, melakukan transaksi pembelian emas tersebut. Di antaranya adalah oknum pejabat dan pegawai di PT Antam.
“Pembelian dilakukan dengan cara menetapkan harga jual logam mulia di bawah harga yang telah ditetapkan oleh PT Antam, seolah-olah ada diskon dari PT Antam,” ungkap Kuntadi.
Padahal, kata Kuntadi, dalam periode tersebut, PT Antam tak ada memberikan program rabat kepada Budi Said. Pun transaksi Butik Surabaya-1 PT Antam dengan BS itu tak ada kesepakatan untuk memberikan diskon.
“Guna menutupi jumlah selisih harga tersebut, para pelaku selanjutnya membuat surat yang diduga palsu yang pada pokoknya membenarkan transaksi tersebut,” ujar Kuntadi.
Sehingga, melalui surat yang diduga palsu itu, membuat PT Antam menjadi pihak yang berkewajiban menyetorkan sejumlah emas yang disebut sudah ditransaksikan oleh Budi Said. “Akibatnya, PT Antam mengalami kerugian yang sangat besar, sebesar 1 ton 136 Kilogram (Kg) logam mulia emas,” kata Kuntadi. Besaran kerugian negara akibat perbuatan Budi Said dan empat pejabat PT Antam tersebut, mencapai Rp 1,1 triliun.
Sementara, kuasa hukum Budi Said, Sudiman Sidabukke, menegaskan kliennya tidak bersalah. Menurut dia, Budi Said sudah melakukan pembayaran untuk emas seberat 7 ton. Tapi justru tidak mendapatkan haknya. “Kita (Budi Said) tidak pernah merugikan negara. Justeru kita meminta haknya kita untuk diserahkan kepada kita, yaitu berupa emas 1,136 ton yang menjadi hak kita,” kata Sudiman.
Dengan alasan kliennya tidak bersalah, Sudirman minta status tersangka, kliennya dicabut, dan meminta agar bos dari PT Tridajaya Kartika Group (TKG) itu dilepaskan dari tahanan. Termasuk meminta agar hakim tunggal praperadilan menyatakan proses penyidikan yang dilakukan oleh Jampidsus-Kejakgung terhadap Budi Said tidak sah, dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Sehingga, kata Sudiman, dalam permohonan lanjutan juga meminta agar hakim praperadilan meminta Jampidsus-Kejakgung menghentikan seluruh proses penyidikan.