Pakar: Kasus Bunuh Diri Sekeluarga di Penjaringan Layak Disebut Kasus Pidana
Menurut Reza, anak-anak tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tidak sepakat dengan kasus tewasnya empat orang anggota keluarga usai melompat dari lantai 21 Apartemen Teluk Intan Tower Topas Penjaringan Jakarta Utara sebagai kasus bunuh diri. Ia menilai kasus tersebut perlu dicatat sebagai tindak pidana.
“Dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana,” kata Reza dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (12/3/2024).
Dia menjelaskan, tindak pidana yang dimaksudkan adalah terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa anak untuk melompat dari gedung tinggi. Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu, kata Reza, baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan demikian.
“Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak,” katanya.
Keempat anggota keluarga itu adalah pria EA (50 tahun), perempuan berinisial AIL (52) dan dua anak remaja laki-laki berinisial JWA (13) dan remaja wanita berinisial JL (15). Dijelaskannya, implikasi dalam kasus ini adalah, bila kedua anak tersebut dianggap berkehendak dan bersepakat dalam peristiwa tersebut maka serta-merta gugur.
“Dalam situasi apa pun anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuan bagi aksi bunuh diri,” katanya memaparkan.
Reza menganalogikan, hal ini dengan aktivitas seksual. Dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.
Siapapun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak, kata Reza, secara universial selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. “Anak-anak secara otomatis berstatus korban,” ujar Reza menerangkan.
Jika ditarik kembali ke kasus terjun bebas di Jakarta Utara tersebut, kata dia, terlepas kedua anak dalam kasus tersebut mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju. Aksi terjun bebas tersebut, kata Reza, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual (kesepakatan).
“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,” ujarnya.
Atas dasar itulah, kata Reza, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. Karena, mereka dipaksa melompat, maka mereka justru jadi korban pembunuhan.
“Pelaku pembunuhnya adalah pihak yang harus diasumsikan telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,” katanya.
Kasus ini kata Reza, berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri dan pembunuhan. Tapi polisi tidak bisa memproses lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas. “Indonesia tidak mengenal proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati (posthumous trial),” kata Reza.
Empat anggota keluarga terdiri atas ayah, ibu dan dua orang anak ditemukan sudah tidak bernyawa oleh petugas keamanan di lobi apartemen pada Sabtu (9/3/2024).
Saat ditemukan, keempat korban mengalami luka berat di bagian kepala, tangan dan kaki. Polisi menemukan ikatan tali yang putus pada tangan keempat korban, diduga tali tersebut terikat pada tangan sebelum melakukan aksi bunuh diri.