TPN Siap Bawa Bukti Kecurangan Pilpres ke MK

TPN tidak fokus pada selisih angka, tapi lebih ke soal dugaan kecurangan pemilu.

Republika/Rakhmawaty La'lang
Henry Yosodiningrat
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Henry Yosodiningrat mengatakan bahwa pihaknya siap membawa bukti kecurangan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ke MK disebutnya bukan fokus pada perolehan hasil suara kontestasi.

Gugatan sengketa Pilpres 2024 ke MK fokus kepada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Harapannya, MK dapat benar-benar melihat bukti-bukti tersebut sebelum mengeluarkan putusan.

"Kami memiliki data dan bukti yang kuat sekali, kami tidak akan larut dengan masalah selisih angka perolehan, tapi kami akan fokus pada TSM karena kejahatan ini sudah luar biasa. Kita akan yakinkan hakim dengan bukti yag kita miliki bahwa ini betul-betul kejahatan yang TSM," ujar Henry lewat keterangannya, Selasa (12/3/2024).

Ia mengungkapkan, bukan hal baru bila MK memutuskan melakukan pemilihan umum (Pemilu) ulang. Apalagi hal seperti itu sudah pernah terjadi di beberapa negara.

"Kami punya bukti ada kepala desa yang dipaksa oleh polisi, ada juga bukti warga masyarakat mau milih ini tapi diarahkan ke paslon lain, dan akan ada Kapolda yang kami ajukan. Kita tahu semua main intimidasi," ujar Henry.

Sebelumnya, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla (JK) mengatakan, demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan berbagai caranya. Era Presiden Soekarno disebut sebagai demokrasi terpimpin. Lalu pada era Soeharto, dipanggil dengan istilah demokrasi Pancasila.

Indonesia saat ini disebutnya menerapkan demokrasi yang lebih terbuka, khususnya pada pemilihan umum (Pemilu) 2024. Namun, kontestasi tersebut justru tercoreng dengan berbagai indikasi-indikasi kecurangan.

"Bagi saya, saya pernah mengatakan ini adalah pemilu yang terburuk dalam sejarah pemilu Indonesia sejak '55. Artinya adalah demokrasi pemilu yang kemudian diatur oleh minoritas, artinya orang yang mampu, orang pemerintahan, orang-orang yang punya uang," ujar JK dalam sambutannya di Aula Juwono Sudarsono Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/2024).

Indikasi kecurangan Pemilu 2024 dilihatnya dari upaya politisasi bantuan sosial (bansos) hingga intimidasi aparat negara. Jika hal tersebut terus diterapkan, Indonesia bisa kembali terjebak dalam masa otoriter. "Apabila sistem ini menjadi suatu kebiasaan, maka kita akan kembali ke zaman otoriter, itu saja masalahnya sebenarnya," ujar JK.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler