Proposal 'Realistis' Gencatan Senjata yang Disebut Hamas tak Pantas Ditolak Israel
Hamas telah mengajukan usulan kesepakatan gencatan senjata melalui mediator di Doha.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Antara, Anadolu
Petinggi kelompok perlawanan Palestina Hamas, Osama Hamdan pada Sabtu (16/3/2024) menyebutkan bahwa usulan kesepakatan gencatan senjata yang diajukan pihaknya merupakan tuntutan yang realistis. Dalam negosiasi gencatan senjata, Hamas meminta perang diakhiri, pengungsi dipulangkan, serta bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi Jalur Gaza dijalankan, ucap Hamdan kepada kantor berita Sama.
Petinggi Hamas yang berbasis di Beirut, Lebanon, tersebut mengatakan, usulan pihaknya "sangat realistis" sehingga tidak pantas ditolak. Usulan gencatan senjata tersebut, ucap dia, secara detail menjelaskan persoalan tahanan Israel, warga Palestina yang ditahan oleh Israel, dan penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza, ucap dia.
Hamdan mengatakan pula, bahwa Hamas masih menunggu respons Israel serta Amerika Serikat, yang menjadi penyokong terbesar Israel dalam agresinya di Jalur Gaza, terkait usulan mereka. Hamdan mengemukakan bahwa selain Israel telah gagal mencapai tujuannya dalam serangannya ke Jalur Gaza, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga tahu separah apa kerugian yang diderita militer Israel akibat agresi itu.
Sebelumnya, Hamas telah menyerahkan usulan kesepakatan gencatan senjata kepada pihak mediator dan Amerika Serikat. Usulan yang dibagi dalam dua tahap tersebut mencakup pertukaran tahanan Israel dengan warga Palestina yang ditahan Israel, yang 100 di antaranya dihukum seumur hidup.
Tahanan Israel yang dibebaskan pada tahap pertama akan mencakup tentara wanita serta wanita, anak-anak, dan lansia lainnya, yang akan ditukar dengan 700 hingga 1.000 warga Palestina. Proposal tersebut juga meminta penarikan tentara Israel dari kota-kota dan kawasan padat penduduk di Gaza pada tahap pertama, serta penarikan penuh Israel dari Gaza pada tahap kedua.
Masih merujuk pada proposal Hamas, pengepungan Gaza harus diakhiri, dan pembangunan infrastruktur Gaza yang hancur akibat gempuran Israel sejak 7 Oktober 2023 harus dijalankan. Selain itu, kelompok perlawanan Palestina itu juga mendesak Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat mengawasi implementasi kesepakatan gencatan senjata nantinya.
Pada Jumat (15/3/2024) lalu Israel mengatakan akan mengirim delegasi ke Doha, Qatar, tapi tidak mengungkapkan kapan atau siapa yang akan terlibat dalam perundingan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diperkirakan akan mengadakan rapat kabinet keamanan sebelum perundingan.
Sumber mengatakan kepala intelijen Israel, Mossar, David Barnea, diperkirakan akan memimpin perundingan gencatan senjata dengan mediator saat negosiasi dilanjutkan di Qatar untuk merespon proposal gencatan senjata baru Hamas. Perundingan antara Barnea, perdana menteri Qatar dan pejabat pemerintah Mesir akan fokus pada sisa perbedaan antara Israel dan Hamas, termasuk mengenai pembebasan sandera dan bantuan kemanusiaan.
Barnea diketahui terlibat dalam perundingan dalam kesepakatan sebelumnya. Gencatan senjata pada bulan November disepakati dan berlaku setelah ia berpartisipasi dalam perundingan di Doha. Pertemuan terakhirnya dengan perdana menteri Qatar terjadi pada Januari lalu yang mengarah pada proposal yang kemudian ditolak Hamas.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Yordania mengatakan bahwa Yordania dan Amerika Serikat pada Sabtu (16/3/2024) membahas upaya mencapai gencatan senjata yang komprehensif dan segera di Jalur Gaza. Pembahasan tersebut dilakukan dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi dan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Timur Dekat Barbara Leaf di Amman.
“Perlunya menghentikan perang dan bencana kemanusiaan yang diakibatkannya dan memastikan perlindungan warga sipil dan pengiriman bantuan kemanusiaan yang cukup dan berkelanjutan ke seluruh wilayah Jalur Gaza secara luas, aman, dan tanpa hambatan,” kata Menlu Yordania Ayman Safadi sebagaimana dilaporkan Anadolu, Ahad (17/3/2024).
Israel telah melancarkan serangan militer mematikan di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas pada 7 Oktober yang dipimpin oleh Hamas dan menewaskan 1.163 orang. Sementara itu, lebih dari 31.500 warga Palestina yang sebagian besar perempuan dan anak-anak tewas di Gaza. Lalu sebanyak 73.546 orang lainnya terluka akibat kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.
PBB mencatat bahwa perang Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza terpaksa mengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan sebagian besar makanan, air bersih dan obat-obatan. Sementara sebanyak 60 persen infrastruktur di wilayah kantong tersebut telah rusak atau hancur.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Keputusan sementara pada bulan Januari memerintahkan Tel Aviv untuk memastikan pasukannya tidak melakukan tindakan genosida dan menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.
Kanselir Jerman Olaf Scholz mendesak Israel untuk mengizinkan akses kemanusiaan dalam skala yang lebih besar ke Gaza. Pernyataan ini disampaikan menjelang kunjungan dua hari ke Timur Tengah.
Scholz dijadwalkan berkunjung ke Aqaba, pelabuhan Yordania di Laut Merah dan bertemu Raja Yordania Abdullah pada Ahad (17/3/2024). Sebelum terbang ke Israel untuk bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
"Saat ini diperlukan bantuan dalam skala yang lebih besar tiba di Gaza. Itu juga akan menjadi topik yang akan saya bahas," kata Scholz pada wartawan, Sabtu (16/3/2024).
Ia juga menyuarakan kekhawatiran mengenai rencana Israel menyerang Rafah, kota paling selatan Jalur Gaza yang kini menampung lebih dari 1 juta dari 2,3 juta populasi kantong pemukiman itu.
"Terdapat bahaya serangan komprehensif di Rafah akan mengakibatkan banyak korban sipil yang mengerikan, yang harus dilarang keras," tambahnya.
Pekan lalu, Benjamin Netanyahu mengatakan Israel akan melanjutkan operasi militer ke Rafah, selatan Gaza, meski tekanan internasional untuk tidak melanjutkan rencana tersebut semakin menguat. Semakin banyak suara yang ikut menyerukan agar Israel tidak memasuki Rafah, salah satu daerah terakhir yang relatif aman, tempat 1,5 juta orang mencari perlindungan.
"Kami akan menyelesaikan pekerjaan di Rafah sambil membiarkan populasi warga sipil keluar tanpa terluka," kata Netanyahu dalam pidato yang disiarkan melalui video di kegiatan organisasi pro-Israel, AIPAC di Washington, Amerika Serikat pada Selasa (12/3/2023).