Sosok PM Baru Palestina Mohammed Mustafa, Pernah Kerja di Bank Dunia

Mustafa menghadapi tugas besar dalam bidang manajemen dan diplomasi.

Al Monitor
Perdana Menteri Palestina yang baru Mohammad Mustafa (kiri) bersama PM Palestina Mahmoud Abbas,
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Mohammad Mustafa (69 tahun) ditunjuk sebagai Perdana Menteri Palestina yang baru setelah pengunduran diri Mohammed Shtayyeh beberapa waktu lalu. Mohammad Mustafa ditunjuk sebagai perdana menteri Otoritas Palestina (PA) pada Kamis (14/3/2024).

Mohammad Mustafa adalah salah satu tokoh bisnis terkemuka Palestina yang mengawasi rekonstruksi Gaza di bawah pemerintahan Hamas. Mustafa juga sekutu langka Kepala Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.

Dia pernah memimpin perusahaan telekomunikasi Palestina, Paltel, dan yang terbaru, Dana Investasi Palestina (PIF). PIF memiliki aset senilai hampir 1 miliar dolar AS yang mendanai proyek-proyek di seluruh wilayah Palestina.

Dia ditunjuk satu dekade lalu untuk membantu memimpin upaya rekonstruksi di Gaza setelah perang Israel-Hamas sebelumnya. Para pemimpin Palestina berharap ia kini dapat tampil sebagai tokoh pemersatu ketika ia bersiap membangun kembali daerah kantong tersebut.

PA yang diakui secara internasional menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat yang diduduki Israel. Namun, PA kehilangan kendali atas Gaza ke tangan Hamas pada 2007.

Perdana menteri sebelumnya, Mohammed Shtayyeh, anggota faksi Fatah pimpinan Abbas, mengundurkan diri pada Februari untuk membuka jalan bagi kabinet persatuan. Meski dekat dengan Abbas, Mustafa bukan anggota Fatah, sehingga berpotensi membuatnya tidak terlalu kontroversial.

Mustafa menghadapi tugas besar dalam bidang manajemen dan diplomasi. Sebagian besar wilayah Gaza kini menjadi puing-puing dan sebagian besar dari 2,3 juta penduduknya terpaksa mengungsi dan membutuhkan bantuan ketika bencana kelaparan mulai terjadi.

Baca Juga


Tepi Barat juga mengalami kekerasan terburuk...

Tepi Barat juga mengalami kekerasan terburuk dalam beberapa dekade dengan serangan Israel yang terjadi di kota-kota besar dan kecil secara rutin di seluruh wilayah tersebut.

Selain mengawasi miliaran bantuan internasional yang diharapkan, Mustafa akan membutuhkan dukungan politik dari Hamas dan para pendukungnya serta kerja sama dari Israel yang ingin memberantas Hamas.

Washington, yang menginginkan PA memainkan peran utama dalam pemerintahan Gaza pascaperang, telah menyerukan reformasi mendalam dalam cara pengelolaannya.

“Fatah berada dalam krisis di Tepi Barat dan Hamas jelas berada dalam krisis di Gaza,” kata ekonom Palestina Mohammad Abu Jayyab, berbicara sebelum penunjukan Mustafa. Menurutnya, Mushtafa dapat mewakili jalan keluar bagi keduanya.

Abbas menunjuk Mustafa sebagai ketua PIF pada 2015. Ia menjabat sebagai wakil perdana menteri yang bertanggung jawab atas urusan ekonomi dari 2013 hingga 2014. Berbicara di Davos pada 17 Januari lalu, Mustafa mengatakan bencana dan dampak kemanusiaan dari perang saat ini jauh lebih besar dibandingkan satu dekade lalu.

Setidaknya 31.726 orang dipastikan gugur, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan ribuan lainnya diyakini terkubur di bawah reruntuhan dan 73.792 lainnya terluka di Gaza.

Israel mengatakan mereka tidak akan pernah bekerja sama dengan pemerintah Palestina mana pun yang menolak untuk menolak Hamas dan serangannya pada 7 Oktober. Menurut penghitungan Israel, serangan Hamas menewaskan 1.200 orang dan 253 orang diculik.

Mustafa, dalam sambutannya di Davos...

Mustafa, dalam sambutannya di Davos, menggambarkan serangan 7 Oktober sebagai sesuatu yang disayangkan bagi semua orang. Tetapi juga merupakan gejala dari masalah yang lebih besar, yang telah diderita rakyat Palestina selama 75 tahun tanpa henti.

“Sampai saat ini kami masih meyakini kenegaraan bagi Palestina adalah jalan ke depan, sehingga kami berharap kali ini kita bisa mewujudkannya, sehingga seluruh masyarakat di kawasan bisa hidup aman dan damai,” ujar Mustafa.

Mustafa adalah anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Abbas. PLO mengakui Israel pada awal proses perdamaian pada 1993, berharap untuk mendirikan negara Palestina di wilayah yang direbut oleh Israel dalam perang tahun 1967, yakni Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.

Pejabat pemerintahan Biden sebelumnya mengatakan mereka telah mendesak Abbas untuk membawa darah baru, termasuk teknokrat dan spesialis ekonomi, ke dalam pemerintahan yang diubah untuk membantu memerintah Gaza pascaperang. Namun mereka mengatakan tidak ingin terlihat memberikan tekanan untuk menyetujui atau menolak individu tertentu.

Mustafa mengatakan Otoritas Palestina bisa berbuat lebih baik dalam hal membangun institusi yang lebih baik, menyediakan pemerintahan yang lebih baik sehingga dapat menyatukan kembali Gaza dan Tepi Barat.

Namun, jika kita tidak bisa menghilangkan...

“Namun, jika kita tidak bisa menghilangkan pendudukan, tidak ada pemerintahan yang direformasi, tidak ada institusi yang direformasi yang benar-benar dapat membangun sistem pemerintahan yang sukses, atau mengembangkan perekonomian yang baik,” katanya.

Mustafa memiliki gelar PhD di bidang Administrasi Bisnis dan Ekonomi dari George Washington University, dan pernah bekerja di Bank Dunia di Washington. Ia lahir di kota Tulkarem, Tepi Barat.

Dia mengatakan dalam sambutannya pada tanggal 17 Januari bahwa dibutuhkan 15 miliar dolar AS hanya untuk membangun kembali rumah. Dia mengatakan akan terus fokus pada upaya kemanusiaan dalam jangka pendek dan menengah, sambil menyatakan harapan bahwa perbatasan Gaza akan dibuka dan konferensi rekonstruksi akan diselenggarakan.

Ketika ditanya mengenai peran Hamas di masa depan, Mustafa juga mengatakan cara terbaik ke depan adalah dengan menjadi seinklusif mungkin dan menambahkan ia ingin warga Palestina bersatu dalam agenda PLO.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler