Pendekatan Polisi Cegah Perang Sarung Dinilai tak Berikan Efek Jera, Lalu Apa Solusinya?

Pembinaan yang dilakukan polisi dinilai tak beri efek jera bagi pelaku perang sarung.

Antara/Budiyanto
Barang bukti sarung modifikasi sebagai senjata yang digunakan dalam perang sarung.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Sejak Ramadhan, perang sarung merebak di berbagai daerah. Fenomena itu sebetulnya bisa dicegah jika anak muda memiliki wadah untuk mengekspresikan diri secara positif.

"Terkait dengan maraknya fenomena perang sarung, saya justru melihat hal itu disebabkan oleh kurangnya wadah bagi anak-anak muda kita untuk berekspresi dalam hal positif," kata Fajry SS Sinaga MA selaku dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Prof KH Saifuddin Zuhri di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Jika dilihat dari sisi teori psikologi perkembangan anak, menurut Fajry, masa remaja merupakan fase untuk mencari jati diri. Dalam proses pencarian jati diri tersebut, remaja akan mengekspresikan diri atau menunjukkan keberadaannya melalui berbagai cara.

Dalam hal ini, lanjut Fajry, perang sarung ataupun tawuran bersenjata tajam menjadi cara remaja untuk menunjukkan eksistensinya. Hanya saja, mereka menempuh cara yang salah.

"Kebetulan wadah yang positif enggak ada, jadi mereka memilih perang sarung itu. Padahal, itu sesuatu yang tidak baik dan merugikan," katanya.

Fajri menyoroti pergeseran fungsi sarung. Sarung yang identik dengan sesuatu yang baik, seperti penutup aurat bagi Muslim saat menunaikan ibadah sholat maupun beriktikaf di masjid selama Ramadhan, justru dimanfaatkan sebagai alat untuk tawuran.

Baca Juga


Terkait dengan hal itu, Fajry mengapresiasi upaya Kepolisian dalam mencegah terjadinya perang sarung. Sebab, perkelahian tersebut tidak hanya berbahaya bagi para pelakunya tetapi juga orang lain.

Fajry menyebut, polisi sering kali mengamankan sejumlah remaja terlibat dalam perang sarung maupun yang diduga hendak melakukan perang sarung. Rata-rata, pelakunya masih di bawah umur.

"Mereka hanya didata dan diberi pembinaan, namun menurut saya, pembinaan tersebut tidak cukup dengan mengundang orang tua dan selanjutnya mereka diminta untuk meminta maaf, itu kurang memberikan efek jera," katanya.

Menurut Fajry, para remaja yang terlibat perang sarung itu sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan positif, seperti pesantren kilat. Dalam hal ini, Kepolisian bisa mengundang ulama untuk memberi materi keagamaan bagi para remaja yang terlibat perang sarung.

Selain itu, lanjut Fajry, anak-anak muda tersebut dibuatkan wadah untuk berekspresi melalui kegiatan positif. Yang suka musik, misalnya, diberikan pelatihan hadroh atau seni lainnya.

"Nanti saat lebaran, mereka diberi ruang untuk berekspresi," kata dosen musik itu.

Fajry optimistis upaya tersebut dapat memberikan dampak positif bagi para pelaku perang sarung ketimbang pembinaan yang dilakukan polisi selama ini dengan mengundang orang tua. Bahkan, setelah menjalani pembinaan dengan meminta maaf kepada orang tua masing-masing, tidak menutup kemungkinan suatu saat anak-anak tersebut akan melakukan perbuatannya lagi.

"Permasalahan sebenarnya bukan rasa bersalah mereka kepada orang tua, tapi kurangnya ruang untuk berekspresi. Jadi, berikan ruang untuk mengekspresikan hal-hal positif bagi remaja yang terlibat perang sarung, tawuran, dan sejenisnya," kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler