Pinjol dan Paylater Marak, Perbankan Perlu Ubah Strategi Agar Kredit Mudah Diakses
Di Asia Tenggara rata-rata 60 persen UMKM kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan terbaru dari Bank Indonesia (BI) tentang kredit nasional dalam Hasil Rapat Dewan Gubernur bulan Maret 2024 mengungkapkan adanya pertumbuhan kredit pada sektor perbankan sebesar 11,28 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 7.047 triliun.
Di sisi lain, penyaluran kredit di sektor UMKM tumbuh sebesar 8,85 persen secara tahunan (yoy). Pertumbuhan kredit untuk UMKM ini berkaitan dengan adanya kredit yang murah dan mudah diakses bagi pelaku usaha. Pertumbuhan ini juga sejalan dengan inisiatif pemerintah mempertahankan suku bunga fasilitas kredit di angka 6,75 persen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, meskipun laju pertumbuhan kredit terlihat positif, namun dengan semakin banyaknya lembaga keuangan non-bank berkompetisi menyalurkan pinjaman untuk masyarakat, maka diperlukan strategi khusus guna memperkuat peranan Bank dalam menyalurkan kredit bagi UMKM dan individual yang berbentuk kredit multiguna.
Direktur Utama PT CRIF Lembaga Informasi Keuangan (CLIK) Leonardo Lapalorcia melihat inisiatif pemerintah tersebut sebagai langkah yang strategis untuk memicu penyaluran pinjaman dengan menyarankan kepada para pemberi dana atau kreditur untuk mulai menyesuaikan strategi penyaluran pinjaman mereka. Ini adalah saat yang tepat bagi industri untuk bergeser kembali dari konsep inklusi keuangan ke pendalaman keuangan.
"Pemberi dana atau kreditur harus bisa menaikkan besaran pinjaman (ticket size) maupun tenor pinjaman yang menyasar pengeluaran konsumtif yang lebih panjang dan pinjaman produktif pada jangka menengah/panjang dengan tingkat suku bunga primer,” ujarnya, Rabu (17/4/2024).
Selama ini, pemberian pinjaman pada sektor rumah tangga dan produktif tertahan dari laju pertumbuhan kredit selama empat tahun terakhir. Sejak pandemi, pemberi pinjaman memperlambat aliran pinjaman secara signifikan.
"Kami juga melihat adanya pertumbuhan besar dari sektor pinjaman online dan Buy Now Pay Later (BNPL). Laju perubahan ini seharusnya berpotensi memberi dampak limpahan (spill-over) yang jauh lebih besar untuk mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dibandingkan dengan kinerja dari pinjaman jangka pendek bernilai kecil yang sangat populer di pasar selama lima tahun terakhir," ujarnya.
Menurut Bank Dunia, UMKM terus menghadapi hambatan dalam mengakses kredit, bahkan di Asia Tenggara terdapat rata-rata 60 persen UMKM mengalami kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan. Kesenjangan pembiayaan untuk UMKM di negara-negara berkembang diperkirakan mencapai sekitar $5 triliun, melampaui tingkat pembiayaan UMKM saat ini sebesar 1,3 kali lipat.
Sehingga, sangat penting bagi Bank untuk cermat menilai calon peminjam mereka dengan kecepatan dan akurasi yang sama seperti pemberi pinjaman online serta dapat menawarkan suku bunga lebih rendah dan biaya pendanaan lebih murah. Bank perlu kembali fokus pada pencairan kredit langsung, namun dengan metode penilaian yang lebih canggih guna mengurangi risiko kredit.
"Langkah selanjutnya adalah membuat kredit yang lebih mudah diakses dengan memanfaatkan likuiditas berlimpah di Bank serta mengaplikasikan praktik terbaik pemberian pinjaman yang mutakhir untuk memacu pertumbuhan PDB Negara," jelas Leonardo.