Pemerintah Ingin Pungut Iuran Pariwisata dari Tiket Pesawat, Pengamat: Tidak Etis

Padahal, kata dia, tidak semua penumpang pesawat adalah pelaku wisata.

ANTARA/Muhammad Arif Pribadi
Petugas mengawasi pesawat yang terparkir di Bandara Internasional Minangkabau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar.
Rep: Fauziah Mursid Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Pemerintah melakukan pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan ditentang sejumlah pihak. Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai, rencana pemungutan iuran pariwisata ini tidak etis dan melanggar kesepakatan internasional karena akan berdampak pada melonjaknya harga tiket pesawat.

Baca Juga


"Saya menilai rencana pemungutan iuran pariwisata melalui tiket itu tidak etis. Pemerintah mau uangnya tapi tidak mau kelihatan bahwa mereka yang memungut, seolah-olah harga tiket naik dan tidak sesuai dengan kesepakatan internasional," ujar Alvin dalam keterangannya kepada Republika, Senin (22/4/2024).

Sebelumnya, melalui akun media sosial X pribadinya @alvienlie21, Alvin membeberkan rencana penarikan iuran pariwisata yang akan dibahas dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden Dana Pariwisata Berkelanjutan dengan agenda Pengenaan Iuran Pariwisata Melalui Tiket Penerbangan. Nantinya, aturan itu akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan.

Alvin saat ditanyai lebih lanjut mempertanyakan pungutan iuran pariwisata yang justru dibebankan pada tiket pesawat. Padahal, kata dia, tidak semua penumpang pesawat adalah pelaku wisata.

"Kenapa dibebankan pada pengguna jasa penerbangan? Orang terbang itu kebutuhannya macam-macam, ada yang melayat, kondangan dan sebagian besar sekitar 70 persen lebih itu hanya urusan dinas, urusan bisnis, rapat kerja dan sebagainya," ujarnya.

Dalam survei yang dilakukan timnya pada Januari 2024 lalu di lima bandara besar di Indonesia, dari 7.414 responden pemegang boarding pass, hanya 12,1 persen yang tujuannya berwisata atau liburan. Mayoritas justru tujuannya perjalanan dinas, bisnis dan urusan lainnya.

"Pengguna jasa penerbangan yang tujuannya murni untuk wisata atau liburan itu hanya 12,1 persen, yang lainnya lantas mau dibebani macam-macam, biaya ini untuk apa?" ujarnya.

Selain itu, kata Alvin, pungutan iuran pariwisata melalui tiket pesawat ini juga melanggar kesepakatan internasional terkait penerbangan. Menurutnya, terdapat kesepakatan maskapai-maskapai penerbangan internasional dalam jika harga tiket tidak boleh dibebani selain tiga hal yakni pajak yang berlaku di negara tersebut, airport tax, dan surcharge atau biaya tambahan saat peak season maupun kenaikan harga bahan bakar.

Karenanya, alih-alih membebaninya ke penumpang pesawat, pemerintah sebaiknya langsung memungut ke pelaku wisata.

"Misalnya, seperti visa on arrival atau dipungut langsung di bandara. Jangan dibebankan pada tiket karena dampaknya adalah seolah-olah harga tiket naik padahal harga tiketnya tidak naik. Yang naik itu tetek bengeknya, yang diselipkan, nanti yang kena beban lagi adalah maskapai penerbangan, padahal uangnya tidak masuk ke maskapai penerbangan," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler