Kisah Hakim Syuraih, Berani Ambil Putusan yang Rugikan Ali Bin Abi Thalib

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ia menjadi hakim pertama di Kufah.

MgIt03
Ilustrasi.
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu banyak kisah hakim berintegritas di masa dahulu yang dapat dijadikan panutan untuk para hakim di era saat ini. Salah satunya dari masa awal Islam yang memberikan contoh bagaimana seharusnya hakim dalam memutus perkara.

Di antara hakim terpopuler dalam sejarah Islam adalah Syuraih al-Qadi atau Syuraih bin Al-Jahm. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Syuraih diutus ke Kufah untuk menjadi hakim. Ia sekaligus menjadi hakim pertama di Kufah.

Di sana dia menjabat sebagai hakim selama 60 tahun. Lalu, ia diberhentikan dari jabatannya oleh Abdullah bin Zubair pada masa pemerintahan Muawiyah bin Sufyan.

Terdapat satu kisah keberanian Syuraih dalam memutus perkara. Ketika Ali bin Abi Thalib memegang posisi khalifah, terjadi perselisihan antara Ali dan orang Nasrani. Keduanya berselisih soal perisai dan mengaku sebagai pemiliknya.

Ali mengatakan kepada Syuraih bahwa perisai itu adalah miliknya. "Wahai Syuraih, perisai ini milikku. Aku tidak menjualnya dan tidak pula memberikannya," ujar Ali.

Baca Juga


Selanjutnya...

Syuraih pun bertanya kepada orang Nasrani itu soal apa jawabannya atas pernyataan Ali. "Perisai itu tidak lain adalah perisaiku, dan Amirul Mukminin bukanlah pendusta bagiku," kata orang Nasrani tersebut.

Setelah itu Syuraih menoleh ke Ali dan bertanya ihwal kepemilikan bukti yang dipegang Ali. Syuraih bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, engkau punya bukti?" Lalu Ali menjawab, "Aku tidak punya bukti."

Berdasarkan perkataan kedua belah pihak, Syuraih memutus bahwa perisai itu milik orang Nasrani. Dalam kondisi demikian, si orang Nasrani itu terheran-heran karena hakim Syuraih sampai berani mengeluarkan putusan yang merugikan dan mengadili pemimpinnya sendiri.

"Amirul Mukminin telah membawaku ke hakimnya, dan hakimnya ini malah mengadili dia (Ali)," kata orang Nasrani itu.

Berangkat dari kejadian itu, apa yang telah diperbuat Syuraih ternyata meluluhkan hati orang Nasrani tersebut. Kemudian ia bersyahadat, dan berkata, "Demi Allah, perisai ini milikmu, wahai Amirul Mukminin."

Selanjutnya...

Dalam hadits Bukhari dan Muslim dipaparkan tentang tujuh golongan yang akan dinaungi Allah SWT dalam naungan 'Arsy-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah SWT.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إلَّا ظِلُّهُ: إِمامٌ عادِلٌ، وشابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّه تَعالى،

"Ada tujuh golongan manusia yang nanti akan dinaungi Allah dalam naungan ‘Arsy-Nya pada hari yang tiada naungan selain naungan Allah, yaitu, pertama, pemimpin yang adil dan jujur. Kedua, seorang laki-laki yang diajak berselingkuh oleh seorang perempuan cantik dan berpangkat, lalu dia mengatakan 'aku takut kepada Allah rabbal 'alamin'...." (Muttafaqun 'alaih)

Salah satu yang dinaungi Allah SWT adalah seorang imam yang adil. Makna dari imam yang adil ini ialah setiap orang yang diberi kuasa atau yang memiliki kuasa atas urusan umat Islam.

Artinya, makna imam yang dimaksud tidak hanya merujuk pada pemimpin negara, tetapi juga termasuk di antaranya seorang hakim yang diberi kewenangan atau kuasa untuk memutus suatu perkara. Dengan kewenangan itu, hakim yang adil akan memutus perkara secara adil dan tegak lurus.

Itulah yang kemudian akan membangkitkan sebuah bangsa dan memajukannya di berbagai aspek kehidupan. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS An Nahl ayat 90)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler