Israel Gagal Buktikan Staf UNRWA sebagai Anggota Kelompok 'Teroris'

AS masih akan terus menahan pendanaannya sampai Maret 2025.

Anadolu Agency
Suasana di luar kantor UNRWA di Jalur Gaza.
Rep: Lintar Satria Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Hasil peninjauan independen untuk PBB menemukan Israel tidak memiliki bukti kredibel untuk mendukung klaimnya staf UNRWA (badan bantuan pengungsi PBB untuk Palestina) sebagai anggota kelompok teroris. Peninjauan independen itu dipimpin mantan Menteri Luar Negeri Prancis, Catherine Colonna.

Baca Juga


Tuduhan Israel ini, mendorong banyak pendonor menghentikan donasinya ke UNRWA. Sehingga lembaga yang menjadi tulang punggung distribusi bantuan ke rakyat Palestina kekurangan anggaran.

Kantor Pengawasan Lembaga PBB juga melakukan peninjauan independen terhadap UNRWA dan penyelidikan terhadap serangan 7 Oktober 2023. Selain dipimpin Colonna peninjauan independen juga didukung tiga institut penelitian negara Nordik.

Hasil peninjauan menemukan Israel gagal membuktikan staf UNRWA anggota sayap militer Hamas atau Islam Jihad. Pada bulan Januari lalu Israel memfitnah staf UNRWA terlibat dalam serangan mendadak 7 Oktober 2023.

Aljazirah melaporkan dalam dokumen setebal enam halaman intelijen Israel memberikan sejumlah tuduhan tanpa bukti pada UNRWA. Termasuk Hamas menggunakan fasilitas lembaga itu dalam serangan 7 Oktober 2024. Israel juga menuduh 12 staf UNRWA berpartisipasi dalam serangan tersebut sementara 190 lainnya memberi dukungan intelijen dan logistik.

Pada Maret lalu, militer Israel mengklaim memiliki bukti empat staf UNRWA juga terlibat dalam serangan tersebut. Namun dalam laporan Colonna mencatat Israel tidak mengungkapkan kekhawatiran mengenai proses pemeriksaan pegawai UNRWA sejak 2011.

Keluhan pertama diajukan pada Januari 2024. Lembaga penelitian Nordik mengeluarkan laporan yang lebih detail. "Pihak berwenang Israel belum memberikan bukti yang mendukung atau merespon surat dari UNRWA pada bulan Maret dan surat bulan April, yang meminta nama-nama dan bukti-bukti yang membuat UNRWA membuka penyelidikan," kata lembaga-lembaga penelitian Nordik dalam laporan mereka.

Lembaga-lembaga itu adalah Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law dari Swedia, Chr Michelsen Institute dari Norwegia, dan Institute for Human Rights dari Denmark. Hanya berdasarkan fitnah Israel sebanyak 18 negara donor UNRWA termasuk pendonor terbesar, Amerika Serikat (AS) menghentikan pendanaan mereka ke lembaga itu.

Meski sejumlah negara seperti Inggris menunggu hasil peninjauan Colonna beberapa negara lain termasuk Uni Eropa sudah kembali menyalurkan dana mereka. Hanya Austria, Jerman, Italia, Belanda, Inggris dan AS yang masih belum menyalurkan kembali pendanaan mereka.

AS masih akan terus menahan pendanaannya sampai Maret 2025 meski pada Februari lalu badan intelijennya sendiri mengatakan "keyakinan" mereka pada tuduhan Israel rendah. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengkonfirmasi penting tuduhan terhadap UNRWA diselidiki menyeluruh, walaupun larangan untuk mendanai lembaga itu sudah diimplementasikan sebelum penyelidikan dilakukan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan "terkejut" dengan tuduhan Israel dan mengeksplorasi cara lain untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Gaza. Jerman sekutu terdekat Israel mengkonfirmasi sudah kembali menyalurkan dana untuk aktivitas UNRWA di semua wilayah kecuali Gaza.

"Kami memiliki cukup dana sampai Juni. Setelah itu belum diketahui bagaimana kami mendanai pekerjaan kami," kata direktur komunikasi UNRWA Juliette Touma. "Tidak ada lembaga lain yang dapat melakukan apa yang kami lakukan," katanya.

"Sebelumnya kami beroperasi di seluruh Gaza. Namun pada akhir Maret, Israel mengatakan akan memblokir semua konvoi makanan UNRWA ke utara," tambahnya merujuk daerah yang menurut pengamat sudah mengalami kelaparan.

Klasifikasi ketahanan pangan yang digunakan lembaga-lembaga di seluruh dunia, Integrated Food Security Phase Classification (IPC) menetapkan jutaan orang di Jalur Gaza terancam mengalami kelaparan. Menurut laporan IPC, sekitar 210 ribu orang di utara Gaza dan Kota Gaza sudah mengalami kelaparan.

Bagian selatan dan tengah Gaza, termasuk Deir el-Balah, Khan Younis, dan Gubernuran Rafah, diklasifikasikan sebagai "keadaan darurat" dan diperkirakan akan mengalami kelaparan pada bulan Juli jika tidak ada intervensi atau gencatan senjata.

"Saya tidak pernah tahu ada daerah yang masuk ke dalam sistem IPC dengan begitu cepat," lanjut Touma. "Di Yaman, butuh waktu bertahun-tahun sebelum IPC diaktifkan. Di Gaza, butuh waktu tiga bulan. Gaza berada di bawah pengepungan. Jangan salah: Kelaparan digunakan sebagai senjata perang," katanya.

"Kondisi kehidupan di Jalur Gaza sangat memprihatinkan. Ada ribuan orang yang hidup bertumpuk-tumpuk. Banyak yang tinggal di tenda yang bisa Anda dirikan di taman. Ada antrian panjang, hanya untuk ke toilet. Seperti yang Anda bayangkan, kebersihannya sangat buruk," tambahnya.

Hal yang memperburuk keadaan adalah terhentinya impor pasokan komersial sebagai konsekuensi dari pertempuran, yang berarti pasta gigi, sabun, dan barang-barang kebersihan dasar sulit diperoleh. "Dalam hal penyakit, kami beruntung karena tingkat vaksinasi yang tinggi di antara penduduk. Namun, Anda tidak dapat melakukan vaksinasi terhadap kelaparan," kata Touma.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler