Israel Menyiapkan 40 Ribu Tenda untuk Mengevakuasi Warga Sipil di Rafah
Populasi Rafah saat ini telah membengkak.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Israel telah menyediakan puluhan ribu tenda untuk warga sipil Palestina yang akan dievakuasi dari Rafah dalam beberapa minggu mendatang menjelang serangan yang direncanakan terhadap kota yang dianggap sebagai benteng terakhir Hamas di Jalur Gaza.
Akibat berdekatan dengan perbatasan Mesir, populasi Rafah telah membengkak karena lebih dari satu juta warga Palestina yang melarikan diri dari serangan Israel yang telah berlangsung selama setengah tahun di seluruh Gaza. Nasib mereka semakan mengkhawatirkan karen negara-negara Barat dan juga Kairo yang mengesampingkan masuknya pengungsi ke Sinai Mesir.
Setelah berminggu-minggu melakukan diskusi dengan Amerika Serikat mengenai perlindungan sipil, Kementerian Pertahanan Israel telah membeli 40.000 tenda, masing-masing berkapasitas 10 hingga 12 orang untuk warga Palestina yang direlokasi dari Rafah.
Pemerintah mengatakan bahwa kabinet perang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berencana bertemu dalam dua minggu mendatang untuk mengizinkan evakuasi warga sipil yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar satu bulan sebagai tahap pertama evakuasi Rafah. Walaupun pihak militer Israel tidak membahas rencana pertempuran secara spesifik, tetapi telah mengisyaratkan kesiapan untuk menyerang Rafah.
“Hamas terkena dampak paling parah di sektor utara. Hal ini juga terkena pukulan keras di bagian tengah Jalur Gaza. Dan dalam waktu dekat hal ini juga akan terjadi di Rafah,” kata komandan Divisi 162 Israel, Brigadir Jenderal Itzik Cohen, dilansir dari GulfNews, Kamis (25/04/2024).
Salah satu penduduk Rafah, Aya (30), mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan untuk pergi dari Rafah. Tetapi, ia khawatir hal tersebut akan terlalu berbahaya di luar sana. Karena baru – baru ini terdapat keluarga yang pindah ke kamp pengungsian di daerah pesisih Al Mawasi, tetapi tenda mereka hangus terbakar akibat terkena peluru tank yang mendarat di dekatnya.
“Saya harus mengambil keputusan apakah akan meninggalkan Rafah karena ibu saya dan saya takut invasi bisa terjadi secara tiba-tiba dan kami tidak punya waktu untuk melarikan diri,” kata Aya.