Beda Perlakuan Terhadap Tawanan Antara Pasukan Shalahuddin dan Tentara Salib

Tentara Shalahuddin Al-Ayyubi bebaskan tawanan dan jamin keselamatan mereka

AP Photo/Mahmoud Illean
Kompleks Masjid Al Aqsa di Kota Tua Yerusalem (ilustrasi) Tentara Shalahuddin Al-Ayyubi bebaskan tawanan dan jamin keselamatan mereka
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejak 1099, pasukan Kristen itu dapat mencaplok Yerusalem dan mendirikan sebuah kerajaan Latin di tanah suci umat Islam tersebut.

Baca Juga


Begitu berhasil mengukuhkan kekuasaan di seluruh Syam (Suriah dan sekitarnya), Sultan Shalahuddin al-Ayyubi melancarkan gerakan ofensif terhadap kaum Salibis. Tujuannya untuk merebut kembali Yerusalem ke tangan Islam. 

Di bawah pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193), Dinasti Ayyubiyah terus mengalami kemajuan, termasuk dalam bidang militer. 

Untuk memperkuat kekuatan tempurnya, raja yang disebut Sultan Saladin itu tidak hanya merekrut prajurit yang sebangsa dengannya, Kurdi. Ada banyak pula suku Berber, Turki, Arab dan Nubia yang masuk dalam angkatan perang Ayyubiyah. 

Di samping itu, Shalahuddin juga membangun banyak benteng pertahanan, utamanya di Mesir sebagai pusat kerajaannya.

Ia menjalin kerja sama dengan sejumlah penguasa Muslim di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara. Sebab, mereka pada waktu itu menghadapi ancaman yang sama, yakni Pasukan Salib. 

Melalui Pertempuran Hattin pada 1187, ia akhirnya sukses membebaskan kiblat pertama umat Nabi Muhammad SAW itu dari penjajahan yang telah berlangsung puluhan tahun.

Berbeda dengan sikap barbar Pasukan Salib saat menduduki Yerusalem 88 tahun silam, pemimpin kelahiran Tikrit (Irak) itu tidak sampai membantai musuh apalagi penduduk setempat yang berlainan agama dengannya. 

Bahkan, nyawa dan harta mereka dijamin keselamatannya. Sikapnya yang bijaksana dan menghormati kemanusiaan itu membuatnya dikagumi kawan maupun lawan.

Keberhasilan Shalahuddin di Lembah Hattin lantas menyulut emosi para pemimpin Kristen Eropa Barat. 

Mereka mengagitasi orang-orang Nasrani sehingga terbentuklah koalisi pasukan salib yang baru. Gelombang ketiga Perang Salib pecah antara tahun 1189 dan 1192. Raja Inggris, Richard Si Hati Singa (Richard the Lionheart) memimpin pasukan Salibis untuk menggempur Akka (Acre), kota di pesisir Syam (kini Palestina).

Pertahanan Muslimin di kota tersebut dapat dipatahkan. Sekitar tiga ribu orang Islam menjadi tawanan, termasuk anak-anak dan perempuan. Mereka semua dibantai atas perintah Raja Richard.

 

 

Sultan Shalahuddin menghadapi gerombolan perusuh itu pada 7 September 1191 di Dataran Arsuf. Meskipun telah berupaya sekuat tenaga, pasukan Ayyubiyah harus menerima kekalahan telak. Terpaksa, sang sultan menyuruh prajuritnya yang tersisa untuk mundur teratur.

Setelah pertempuran itu, Richard bertahan di Jaffa dan membentengi kota tersebut. Sementara itu, pasukan Shalahuddin bergerak ke arah selatan guna memperkuat pertahanan di daerah penghubung Syam dengan Mesir. 

Hingga Januari 1192, upaya-upaya perundingan terus berlangsung antara kubu Salibis dan Ayyubiyah. Richard dapat menguasai Beit Nuba, yang hanya sejarak 20 kilometer dari Yerusalem. Bagaimanapun, raja Inggris itu enggan melanjutkan ekspedisi hingga ke kota suci tersebut.

Shalahuddin kemudian menyerang Jaffa, tetapi Richard dapat menahannya agar tidak mendekati benteng kota tersebut. Kedua belah pihak lantas berunding. Disepakatilah bahwa Ayyubiyah mengakui kedaulatan Salibis atas wilayah pantai Palestina, antara Shur (Tyre) dan Jaffa.

Orang-orang Nasrani yang tak bersenjata juga diperkenankan untuk berziarah ke Yerusalem dengan jaminan perlindungan dari Shalahuddin. Sejak itu, perdamaian sempat berlangsung antara Muslim dan Kristen. Namun, sejak Paus Innosensius III naik takhta pada 1198 orang-orang Barat kembali menyerbu Palestina dalam gelombang Perang Salib Keempat (1202-1204).

 

Rahasia Masjid Al Aqsa - (Republika)

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler