Ibadah Haji di Masa Kerajaan Banten Ternyata Berhubungan Baik dengan Amir Makkah

Sultan Makkah memberi gelar kepada Raja Banten dan putranya.

gahetna.cl
Jamaah haji Indonesia di tanah suci tempo dulu.
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedatangan Belanda ke Nusantara (Indonesia) dimulai dengan datangnya rombongan penjelajah yang dipimpin Cornelis de Houtman pada tahun 1596 di Banten.

Cornelis de Houtman adalah seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Indonesia dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah di Belanda. Kedatangan Cornelis de Houtman, disusul kedatangan kongsi dagang VOC pada 1602.

Berdasarkan Hikayat Hasanuddin yang merupakan terjemahan bebas dari Hikayat Banten Rante-Rante yang ditulis pada 1662, 1663 dan Sejarah Banten menyebutkan dua orang penguasa kerajaan Islam di Nusantara, yaitu Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) dari Cirebon dan putranya Maulana Hasanuddin yang merupakan Sultan Banten sempat menunaikan ibadah haji bersama.

Dilansir dari buku Sejarah Ibadah Haji Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan BPKH tahun 2023. Dijelaskan perjalanan ibadah haji bagi kalangan kerajaan tidak hanya semata untuk menunaikan kewajiban agama Islam, kesempatan itu juga dilakukan sebagai misi diplomatik.

Pada masa itu, Sunan Gunung Jati dan putranya Maulana Hasanuddin berupaya mendapat pengakuan dari Amir Makkah serta menjalin persahabatan ke negara-negara yang disinggahi.

Berdasarkan naskah sejarah Banten, pada abad ke-17 Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan utusan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain.

Dalam naskah Babad Banten diceritakan, suatu ketika Raja Banten Keempat, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1624-1651) mengirimkan utusannya kepada Sultan Makkah. Para utusan dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja membawa tiga buah buku, yaitu markum, mumtahi dan wujudiah untuk ditanyakan artinya.

Baca Juga


Selanjutnya...

Mereka datang sambil membawa hadiah berupa pala, cengkih, dan kasturi untuk Sultan Makkah. Hadiah tersebut diterima dan dibagikan kepada bangsawan.

Sebagai balasan, Sultan Makkah memberi hadiah berupa bendera Nabi Ibrahim Alaihissalam, tirai penutup makam Nabi Muhammad SAW dan kiswah penutup Kabah. Juga disampaikan arti dari ketiga buku yang ditanyakan Sultan Banten.

Kemudian, Sultan Makkah memberi gelar kepada Raja Banten dan putranya. Raja Banten, pangeran Abdulah Kadir diberi gelar Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Sedangkan putranya, Pangeran Pekik diberi gelar Sultan Abdul Lama Ali Ahmad.

Para utusan Raja Banten pun kembali dan tiba di kerajaan Banten disambut dengan upacara pembacaan surat Syarif Besar Makkah yang dibaca dengan gaya seperti khutbah Jumat oleh Pekih kerajaan Banten. Sultan Abdul Kadir memberi gelar haji kepada para utusan Banten yang berangkat ke Makkah.

Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1671 Kesultanan Banten kembali mengirimkan utusan ke Makkah. Dalam rangka mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar untuk menemui Syarif Besar Makkah sambil menunaikan ibadah haji. Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Pada tahun 1630-1670-an, Raja Banten dan Raja Mataram, saling bersaing mengirim utusan ke Makkah. Tujuannya antara lain untuk mencari pengakuan dan meminta gelar sultan.

Para raja beranggapan gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya di Makkah tidak ada lembaga resmi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja tersebut beranggapan Syarif Besar yang melayani Haramain (Makkah dan Madinah) memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler