Tim Ahli Sudah Peringatkan Dampak Erupsi Marapi, Tapi tak Direspons Pemda

Alih-alih dampak erupsi, pemda malah sosialisasi mitigasi gempa-tsunami.

AP Photo/Fachri Hamzah
A man makes his way among the rubble near the wreckage of a car at a village affected by a flash flood in Agam, West Sumatra, Indonesia, Monday, May 13, 2024. Rescuers recovered more bodies Monday after monsoon rains triggered flash floods on Indonesia
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli geologi dan vulkanologi Sumatra Barat (Sumbar), Ade Edward, mengatakan, peringatan akan dampak erupsi Gunung Marapi kepada pemerintah sudah dilakukan sejak awal erupsi terjadi. Menurut dia, sebelum terjadinya banjir bandang, warga telah meminta aparat pemerintahan untuk melakukan sosialisasi perihal langkah mitigasi apabila terjadi bencana, tapi tidak kunjung dilakukan.

Baca Juga


“Sejak awal itu sudah diingatkan, ketika 3 Desember itu terjadi erupsi Marapi,” tutur Ade kepada Republika.co.id lewat sambungan telepon, Rabu (15/5/2024).

Ade mengatakan, bentuk kelalaian pemerintah sejatinya sudah terlihat dengan jatuhnya 24 korban jiwa akibat erupsi Gunung Marapi. Ketika itu status gunung tersebut ada di level siaga, yang mana terlarang bagi wisatawan untuk memasuki kawasan tersebut dalam radius 3 km. Tapi, ternyata mereka diizinkan untuk berwisata ke puncak Gunung Marapi.

“Padahal, itu adalah daerah terlarang itu dimasuki. Karena status itu masih siaga. Itu dilarang memasuki kawasan 3 km. Tetapi diizinkan oleh pemerintah daerah untuk wisata ke puncak Marapi. Itu bukti pertama kelalaian,” kata Ade.

Dari kejadian erupsi tersebut, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memperluas daerah yang dilarang untuk dimasuki menajdi radius 4,5 km dari puncak. Tak lama dari sana juga dibuat prediksi daerah mana saja yang berisiko terkena ancaman banjir lahar akibat erupsi.

“Akhirnya keluarlah peta itu. Versi terbaru. Desember minggu ketiga rasanya udah selesai. Dengan permodelan yang paling baiklah rasanya di Indonesia saat ini,” jelas dia.

Data tersebut kemudian diberikan dan disosialisasikan kepada para pegiat bencana Sumbar dan komunitas serupa untuk disosialisasikan lebih lanjut. Itu juga dilakukan untuk membantu pemerintah daerah dalam menyiapkan perencanaan mitigasi. Dari sana, pegiat bencana dan komunitas mengonversi data tersebut menjadi versi aplikasi yang dapat digunakan di ponsel pintar.

“Januari sudah selesai. Sudah kita rilis. Dan kita update terus. Sampai sekarang, di mana lokasi, korban, itu ada di Google Maps. Versi yang kita rilis itu 24 jam kita perbarui terus datanya. Namun, itu tidak ditindak lanjut,” ungkap Ade.

Upaya pencegahan dan kesiapsiagaan tak kunjung dilakukan, terjadilah banjir pertama sekitar April 2024. Ade mengaku, dia dan pegiat lainnya terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya pencegahan dan kesiapsiagaan akan dampak lanjutan dari erupsi Gunung Marapi tersebut.

“Ironinya, setelah banjir bandang pertama itu, BNPB itu mengadakan peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana di Padang. Dengan tema kesiapsiagaan gempa-tsunami. Kan ironis sekali. Yang siaganya itu Marapi, kok latihan kesiapsiagaannya gempa-tsunami? Yang kebutuhan masyarakat kan harusnya mitigasi persiapsiagaan Marapi. Dan itu tidak dilakukan sama sekali,” kata dia.

Menurut dia, sebelum terjadi banjir bandang akibat lahar dingin beberapa hari lalu pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan peringatan. Tapi, lagi-lagi tidak ada tindak lanjut akan peringatan tersebut. Padahal, pada masa itu pula, masyarakat desa di sekitar Marapi beserta relawan juga sudah meminta untuk diberikan pemahaman tentang upaya mitigasi bencana.

“Masyarakat desa itu sudah meminta untuk diberikan sosialisasi, pemahaman bagaimana upaya-upaya. Tidak direspons sama sekali. Jadi, kalau menurut saya, Pak Muhajir itu bilang begitu (lengah), benar adanya,” kata dia.

TMC dan penanganan....

TMC dan Penanganan Pentahelix

Setelah bencana banjir bandang kembali terjadi, dan memakan korban jiwa sebanyak 58 orang sejauh ini, upaya penanganan harus dengan cermat dilakukan. Ade mengatakan, upaya mitigasi struktural membutuhkan waktu. Langkah cepat yang dapat dilakukan untuk mencegah bencana lanjutan adalah dengan melakukan modifikasi cuaca.

“Bencana yang sekarang itu, begitu turun hujan lebat lagi, jadi lagi. Saya sampaikan ke Bu Dwikorita (Kepala BMKG). Pindahkan hujannya, kan mudah. Itu langkah cepat. Modifikasi cuaca. Sampai musim hujan di Marapi ini berakhir. Katanya predisi perkiraan BMKG sampai tanggal 22,” kata Ade.

Di samping melakukan modifikasi cuaca dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC), langkah-langkah penanganan darurat terhadap bencana lainnya juga harus dilakukan secara maksimal dan berkesinambungan. Di mana, pemenuhan kebutuhan dasar harus dilakukan, sementara ancaman bencana susulannya juga harus diurus.

“Pengungsi sekarang gimana? Belum lagi kan daerah yang bekas bencana itu tidak boleh didiami lagi. Lalu relokasi. Relokasi itu tidak sebentar. Dua tahun. Kan itu dibangun dulu hunian sementara,” jelas dia.

Dia tak ingin masalah diare yang terjadi di Pesisir Selatan pascabencana tak lagi terjadi pada penanganan kali ini. Pengungsian korban bencana harus diurus dengan baik. Penyakit-penyakit pascabencana itu harus menjadi perhatian karena terus mengintai para pengungsi.

“Pascabencana ada diare, ISPA. Itu tandanya waktu penanganan-penanganan darurat bencananya kurang efektif. Itu ukuran dunia. Sumbar yang langganan bencana belum pernah pascabencana itu ada diare lalu meninggal pascabencana itu,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler