Kisah Manusia Terkaya di Dunia, Mansa Musa Naik Haji
Dalam perjalanan menuju haji, Mansa Musa bagi-bagi emas kepada penduduk lokal.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada awal abad ke-13 M, sebuah kerajaan besar lahir di Afrika barat. Imperium Mali, demikian namanya, memiliki raja yang berasal dari Dinasti Malinke. Gelarnya adalah "mansa."
Salah seorang pemimpinnya yang terkenang abadi adalah Mansa Musa. Dialah raja ke-10 dalam sejarah Dinasti Malinke.
Reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin Imperium Mali yang dicintai rakyatnya atau mendukung syiar Islam di penjuru Afrika barat. Mansa Musa pun tercatat sebagai manusia terkaya dalam sejarah dunia.
“Sang pemilik Ladang Emas Wangara”, demikian julukannya, lahir pada 1280 M. Tidak banyak yang bisa diketahui dari masa kecilnya.
Ayahnya, Faga Laye, merupakan seorang pejabat birokrasi. Hingga masa dewasanya, Musa terus berkarier di lingkaran pemerintahan hingga akhirnya diangkat menjadi kepala daerah oleh Mansa Sakura.
Mansa Sakura wafat dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Penggantinya dipilih dari seorang trah Sundiata yang bernama Muhammad. Tidak banyak catatan mengenai dirinya.
Penerus Muhammad bernama Mansa Qu. Raja yang berjulukan Abu Bakar II itu dikenang sebagai pemimpin yang ambisius. Salah satu ambisinya ialah menguasai negeri di “ujung lautan”, yakni lepas pantai Afrika Barat dan nun jauh di seberang Samudra (Atlantik).
Abu Bakar II turut serta dalam ekspedisi mengarungi Samudra. Sayangnya, bertahun-tahun kemudian ia tak jua kembali.
Kevakuman kekuasaan di Imperium Mali menjadi kesempatan bagi Musa untuk tampil. Ia pun diangkat menjadi raja (mansa) baru, menggantikan Abu Bakar II.
Perjalanan yang menakjubkan
Pada 1324, Mansa Musa melaksanakan haji ke Baitullah. Sebelum memulai rihlah tersebut, ia menugaskan putranya, Magha Keita, untuk memimpin Mali selama dirinya berada di luar negeri. Al-Umari menceritakan misi ibadah itu dengan cukup perinci. Persiapan dilakukan selama sembilan bulan berturut-turut. Pada bulan ke-10, sang raja dan istrinya, Inari Kanute, pun memulai perjalanannya untuk mengamalkan rukun Islam kelima.
Menurut al-Umari, ribuan orang mengikuti rombongan Musa. Di antaranya adalah para budak, prajurit, jenderal, dan menteri tepercaya. Masing-masing menunggangi unta atau hewan ternak lainnya. Tiap kereta tidak hanya mengangkut macam-macam perbekalan, seperti bahan makanan, minuman, pakaian, dan tenda.
Sebagai pemilik ladang-ladang emas, Mansa Musa tentunya tidak lupa untuk membawa logam mulia, baik dalam bentuk koin, bongkahan, ataupun batang. Dari seluruh 100 ekor unta yang dibawanya, masing-masing memboyong peti-peti berisi emas. Dari total 500 budak miliknya yang turut serta dalam perjalanan haji ini, setiap orang menggotong puluhan kotak yang diisi penuh emas.
Untuk sampai ke Makkah al-Mukarramah, Musa memerlukan waktu lebih dari satu tahun. Pada Juli 1324, ia dan para pengikutnya tiba di Mesir. Mereka mendirikan tenda di sekitaran Kairo, tak jauh dari kompleks Piramida. Kedatangan sang penguasa Mali itu menyebabkan kehebohan di seluruh penjuru kota. Berbondong-bondong warga lokal ingin menjumpainya. Sebab, mereka mendengar kabar bahwa raja Muslim tersebut adalah seorang yang dermawan.
Mesir saat itu dikuasai Dinasti Mamluk. Sultan Mesir menyambutnya dengan penuh penghormatan. Begitu melihatnya, Musa memberi isyarat agar penguasa Mamluk itu tidak usah membungkukkan badan kepadanya. “Hanya kepada Allah-lah, rukuk dan sujud dilakukan seorang insan,” katanya. Tiga bulan lamanya pemimpin Mali itu singgah di Kairo. Sebagai rasa terima kasih, Musa memberinya hadiah sebanyak 50 ribu dinar dan ribuan batang emas. Sedekah emas juga dilakukannya kepada seluruh penduduk Kairo.
Para pedagang setempat memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Mereka sengaja menaikkan harga barang kepada anggota rombongan raja Mali tersebut. Sebagai contoh, barang yang sebenarnya dihargai 1 dinar, maka naik menjadi 10 dinar. Namun, kenaikan harga bukanlah masalah bagi Musa dan rombongannya.
Bahkan, para calon jamaah haji asal Mali itu berbelanja dengan royal di pasar-pasar Mesir. Para pemilik toko di sana kebanjiran untung berlipat ganda. Begitu murah hatinya penguasa yang berjulukan “Sang singa Mali” itu dalam bersedekah. Sampai-sampai, Mesir mengalami surplus logam mulia. Nilai emas di sana sempat anjlok drastis hingga 25 persen selama beberapa tahun sesudah kedatangannya.
Sifat murah hati juga ditunjukkan Mansa Musa di Madinah dan Makkah. Di dua kota suci tersebut, ia memberikan hadiah berupa emas kepada masyarakat setempat. Kesempatan menjejakkan kaki di Tanah Suci tidak hanya dimanfaatkannya untuk berhaji. Melalui pejabat kota setempat, dirinya mengajak sejumlah ulama lokal, khususnya yang keturunan Nabi Muhammad SAW, agar bersedia mengikutinya ke Mali.
Sebab, negeri di Afrika Barat tersebut sedang bertransformasi menjadi salah satu pusat peradaban dunia Islam. Untuk itu, kehadiran dai-dai yang alim dan berwawasan luas sangat dibutuhkan. Akhirnya, beberapa orang ulama keturunan Rasulullah SAW menerima tawaran itu. Betapa gembiranya hati Raja Musa. Hingga kini, para pendakwah Islam di negara Mali dan sekitarnya merupakan anak cucu ulama-ulama yang diboyong sang raja pada abad ke-14 itu.
Tidak hanya pendidik, Musa juga berhasil mengajak seorang arsitek Arab kelahiran Granada (Spanyol) untuk tinggal bersamanya di Mali. Abu Ishaq Ibrahim, demikian namanya, belakangan dikenal dengan julukan al-Sahili. Berbagai masjid dan bangunan publik dirancangnya untuk Musa. Masjid Raya Timbuktu merupakan salah satu karya monumentalnya.
Perjalanan pulang ternyata berlangsung lebih menantang. David Conrad dalam Empires of Medieval West Africa (2005) mengatakan, Musa dan ribuan pengikutnya sempat tersesat di gurun sebelum mencapai Kairo. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, rombongan tersebut akhirnya tiba di pantai Suez.
Mereka memakan apa pun yang berhasil ditangkap dari lautan. Banyak anggota regu yang kemudian berpencar terlalu jauh. Sebagian besar tidak kembali, diduga karena diculik dan lalu dijual sebagai budak oleh suku-suku badui padang pasir. Menurut Conrad, hanya sepertiga dari seluruh rombongan penguasa Mali yang selamat kembali ke rumahnya.
Cerita tentang Raja Musa naik haji masih populer hingga kini. Hal itu menunjukkan sosok penguasa Muslim yang memiliki begitu banyak harta. Bahkan, para peneliti modern mengakui Mansa Musa sebagai orang paling kaya di sepanjang masa.
Menurut profesor sejarah dari University of California Rudolph Butch Ware, kedermawanan sang penguasa Mali itu bahkan “menghancurkan” perekonomian sebuah negeri. Dalam arti, nilai emas di Mesir sempat merosot beberapa tahun lamanya karena nyaris semua orang setempat memiliki lebih banyak logam mulia hasil pemberian dari Musa.
“Jumlah kekayaan Musa jika dihitung di masa kini sungguh luar biasa sampai-sampai hampir mustahil untuk benar-benar memahami betapa kaya dan berkuasanya ia saat itu,” ujar Butch Ware, dilansir BBC.
Umumnya sejarawan sepakat, Mansa Musa wafat beberapa tahun sesudah kepulangannya dari Tanah Suci. Kematiannya menyisakan duka bagi seluruh negeri. Sekitar 100 tahun sesudahnya, Mali mengalami kemunduran. Bahkan, Timbuktu lepas dari kendalinya sejak 1433. Imperium Songhay tampil sebagai pengganti kedaulatan Mali di Afrika Barat.