Apa yang Harus Dilakukan Jamaah Pasutri Saat Telanjur Berhubungan Ketika Puncak Haji?

Apabila suami istri melakukan jima sebelum tahalul kedua maka haji keduanya batal.

Republika
Suasana Pemondokan Jamaah Haji di Arafah
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Sekitar dua juta jamaah haji dari berbagai negara di seluruh munia tengah berkumpul di Padang Arafah pada Sabtu (15/6/2024) Waktu Arab Saudi. Mereka sedang melakukan salah satu rukun yang menjadi puncak haji yakni wukuf.

Baca Juga


Dalam menunaikan ibadah penutup rukun Islam yang lima ini, jamaah haji harus memenuhi salah satu syarat haji, yakni berada dalam kendisi ihram. Orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan jima’ (bersetubuh dengan isterinya), ataupun menikmati istrinya dengan bentuk seperti mencium, menyentuh dengan dorongan syahwat dan bercakap dengan istrinya mengenai hal- hal yang berkenaan dengan seks. Untuk itu, jamaah, khususnya pasangan suami istri diimbau untuk menahan syahwatnya selama prosesi haji.

Hal ini dilandaskan dengan firman Allah dalam surat Albaqarah (2) ayat 197; “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantah di dalam masa mengerjakan haji.”

Jutaan jamaah haji seluruh dunia mulai berkumpul di padang Arafah (10/05/1995). Mereka melaksanakan Wukuf sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji .Foto: BAkhtiar Phada/Republika - (dokrep)

Apabila jima’ antara suami-istri dilalaikan dengan suka sama suka dan dilakukan sebelum tahalul (tahalul kedua), maka haji kedua suami istri tersebut batal. Mereka berdua harus menyelesaikan hajinya sampai sempurna, kemudian menggantinya pada tahun yang akan datang dengan membayar kifarah seekor unta.

Jika  si istri melakukan jima’ karena terpaksa, maka haji keduanya tetap batal dan wajib qadha’, namun si istri tidak wajib bayar kifarat sebagaimana suami membayar kifarat dengan unta.

Apabila jima dilakukan setelah tahalul pertama...

 

Apabila jima’ dilakukan setelah tahalul pertama, maka hajinya tidak batal dan tidak wajib qadha’, namun harus membayar kifarat dengan satu ekor unta masing-masingnya. Jikalau sang istri sudah tahalul pertama, sedangkan suami masih ihram, maka si istri tidak diwajibkan apa-apa dan suami hanya wajib membayar kifarat untuk dirinya sendiri.

Kalau orang yang sedang ihram mencium istrinya tapi tidak sampai keluar mani, maka hajinya tidak batal, namun harus membayar kifarat yaitu seekor kambing. Ada yang berpendapat kalau ciuman itu diikuti dengan nafsu, maka kifaratnya beberapa ekor kambing. Bila tidak diikuti dengan nafsu, maka cukup dengan satu ekor kambing saja. Kalau sampai keluar mani, hajinya tetap sah tapi harus membayar kifarat dengan satu ekor unta.

Jadi, dapat diketahui bahwa jima’ pada masa pelaksanaan ibadah haji dapat membatalkan ibadah haji tersebut dan pelakunya harus membayar kifarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Makna kata “la rafatsa” pada surat Albaqarah ayat 197 yang telah disebutkan sebelumnya adalah jangan melakukan segala kegiatan yang mengarah kepada melakukan jima’, baik ciuman, belaian maupun ucapan-ucapan yang membangkitkan nafsu syahwat, termasuk melakukan jima’ itu sendiri.

Adapun jima’ yang dilakukan bukan dengan istri (zina), akibatnya terhadap hajinya juga sama dengan melakukan jima’ dengan isteri. Pelaku zina diberi hukuman had sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana Islam. Ketentuan hukumannya adalah didera seratus kali bagi pelaku yang belum menikah (ghairu muhshar) dan dirajam (dilempar dengan batu yang sederhana besarnya sampai mati) bagi pelaku zina yang telah atau pernah menikah (muhshan).

INFOGRAFIS Mengenal Rukun Haji - (dok rep)

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler